Rabu, 13 Juli 2011

ide gue 4

BAGAIMANA MUNGKIN AKU MEMBENCI INDONESIA?


Tulisan ini aku buat setelah membaca dan mendengar perkataan temanku,
Yang pertama ia menulis di status fb-nya, “tulisan I Love Indonesia bagiku sangat menggelikan”.
Yang kedua, seorang temanku bilang kepada teman dari Malaysia “aku benci Indonesia” ditengah diskusi PPKn.
Lalu bagaimana aku? Begini jawabanku…
Aku akan bercerita sedikit tentang sejarah kita dimasa lalu….
Indonesia tidak akan pernah lahir bila rakyatnya di masa lalu hanyalah orang-orang “busuk”. Tapi Indonesia lahir karena adanya orang-orang busuk. Karena adanya orang-orang busuk inilah Indonesia bangkit, bersatu dan akhirnya mendeklarasikan kemerdekaannya. 350 tahun (sebenarnya angka 350 tahun itu terlalu didramatisir, karena Belanda tidak pernah menjajah selama itu) sudah kita dijajah Belanda, betapa piciknya mereka menguasai tempat-tempat perdagangan di Indonesia. Setelah berhasil menguasai perdagangan sekaligus perekonomian di wilayah yang ia kuasai mereka merasa tidak puas dan akhirnya melebarkan sayapnya dengan berusaha menguasai daerah-daerah disekitarnya. Tidak hanya itu, mereka juga menanamkan pikiran-pikiran kotor kepada rakyat Indonesia yang mau bersekutu dengan mereka, terutamanya di bidang pemerintahan yang terus dipraktekkan hingga hari ini.
Cerita diatas hanyalah satu contoh tentang buruknya Indonesia. Namun contoh diatas yang menjadi faktornya adalah negara luar. Bagaimana dengan yang berfaktor dari Indonesia sendiri.
Masih ingat PKI? PKI asal mulanya hanyalah sekelompok orang yang beraliran Marxisme, yang ingin menjadikan masyarakat Indonesia berpaham komunis. Tentu paham komunis itu tidak disetujui oleh pemerintah karena bertentangan dengan dasar negara kita, Pancasila. Sehingga saat itu PKI diadili, dibekukan dan akhirnya dibubarkan. Para pemimpin mereka banyak yang ditangkap tapi tak sedikit yang berhasil melarikan diri. Orang PKI yang berhasil lolos, mengungsi ke negara-negara komunis seperti China dan Uni Soviet (yang sekarang menjadi negara-negara kecil didaratan Eropa Timur dan Asia Barat). Mereka belajar lebih dalam tentang paham komunis juga merencanakan strategi untuk menjadikan Indonesia menjadi negara komunis. Beberapa tahun setelah kejadian diatas, para pemimpin yang berhasil melarikan diri, kembali ke Indonesia dengan nama samaran dan menggaet anggota-anggota muda yang potensial. Mereka kembali melancarkan aksi-aksinya untuk mewujudkan cita-cita mereka.
Turunnya Bung Hatta dari jabatannya membuat PKI semakin mudah menembus dunia perpolitikan tanah air. Selama ini Bung Hatta adalah benteng kokoh pelindungi Indonesia dari serangan-serangan yang berusaha meruntuhkan Indonesia. Apalagi saat itu Indonesia masih berumur muda, sehingga mudah sekali bagi idealisme asing untuk masuk ke tanah air. Alhasil, PKI berhasil duduk dipanggung politik setelah melobi Bung Karno yang Nasionalis. Setelah beberapa tahun akhirnya PKI mempunyai kekuatan yang besar yang mampu menandingi partai-partai besar lainnya. Mereka juga menyusupkan orang-orangnya ke dalam tubuh ABRI, tujuannya adalah sebagai kekuatan mereka dalam menundukkan pemerintahan dengan kekuatan fisik.
Setelah peristiwa G30S/PKI terjadi, akhirnya PKI ditumpas hingga ke akarnya oleh Soeharto yang saat itu diberi kuasa. Namun yang sangat disayangkan adalah mereka semua ditumpas tanpa pernah diadili, hingga aktivis pemberani dimasa itu, Soe Hok Gie, melakukan protes keras kepada pemerintah. Ratusan ribu PKI dan terduga PKI dibantai di Bali dan juga tempat lainnya oleh aparat. Menurut berbagai sumber dan ahli Indonesia dari luar negeri, dikatakan bahwa pembantaian PKI saat itu adalah pembantaian terbesar kedua dalam perang dunia kedua! Sejumlah keluarga dan kerabat orang PKI tidak boleh bekerja di institusi pemerintahan, sehingga banyak dari mereka yang merasa dikucilkan. Usut-usut punya usut, seperti yang aku baca di buku yang dicetak oleh pemerintah sendiri, ternyata itu adalah konspirasi dari Amerika, Australia dan juga tetangga kita Malaysia. Kenapa? Karena mereka sudah kehabisan akal untuk menaklukkan Soekarno, begitu Hatta turun namun masih ada satu lagi bentek yang harus dijatuhkan. Mereka semua bermasalah dengan Soekarno, karena pemikiran dan gaya memimpinnya yang sangat hebat. Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa yang bisa menandingi pidato Soekarno hanyalah Hitler.
Setelah itu Presiden pertama kita yang enerjik itu digantikan oleh Presiden baru yang lebih lemah gemulai, istilah jawanya “glendam-glendem” namun sangat tegas dan sangat keras. Tegas dalam membasmi yang melawannya juga keras dalam menghukumnya. Berapa banyak aktivis tahun 60an hingga 90an yang hilang? Berapa banyak kasus pembunuhan yang tidak selesai untuk diungkap bahkan beberapa tidak diungkap?
Presiden kita yang kedua ini adalah orang yang berhasil duduk di kursi panas dunia, yaitu pemerintah terkorup kedua didunia sepanjang zaman. Ada memang kebijakan yang menguntungkan namun lebih banyak lagi yang menguntungkan dia dan kroni-kroninya. Menyebalkan. Setelah ia berkuasai selama 3 dekade, akhirnya ia jatuh juga, namun meninggalkan milyaran kasus yang entah dari mana harus mulai diselesaikan.
Masuklah kita pada era reformasi, lalu demokrasi akhirnya bisa ditegakkan. Namun kita masih perlu banyak belajar demokrasi walaupun sudah lebih dari 10 tahun kita menikmati reformasi. Buktinya demokrasi adalah hak berbicara. Itu yang ditekankan bagaimana dengan hak mendengarkan? Selalu berusaha didengarkan daripada mendengarkan. Padahal berbicara dan mendengarkan adalah dua sisi mata uang. Konflik yang timbul banyak disebabkan karena hanya minta didengar, hanya ingin berbicara, hanya menuntuk haknya untuk bicara, tapi sama sekali tidak mau mendengar. Kita ingat beberapa waktu yang lalu, Marzuki Ali menutup siding di gedung DPR yang “terhormat” tanpa meminta izin kepada anggota sidang, tanpa mau mendengar usulan anggota sidang. Sehingga akhirnya terjadi konflik pelemparan botol oleh anggota yang sudah tersulut emosinya.
Masih tentang DPR, aku tidak akan menulis tentang kampanye omong kosongnya, karena bosan. Mereka bilang mewakili rakyat, memperjuangkan hak-hak rakyat, tapi dimana memperjuangkannya? Pendidikan? Ekonomi? Kesehatan? Pangan? Hak-hak lainnya? Yang mana yang mereka perjuangkan, bagian mana dari kita yang mereka wakili. Hak yang masih diberikan hanyalah adalah hak untuk hidup, tapi untuk memiliki tempat tinggal tidak semua dari kita memiliki hak tersebut. Lucunya, mereka masih meminta milyaran rupiah untuk dana aspirasi rakyat, apa gunanya coba? Lalu beberapa hari yang lalu aku baca dikoran, mereka meminta dana tambahan lagi untuk Studi Kerja, apa juga gunanya studi kerja diluar negeri. Berbagai macam sistem politik yang diciptakan oleh luar negeri itu diciptakan oleh mereka sendiri dan disesuaikan dengan karakter masyarkatnya, lalu apa ia masyarakat kita karakternya sama dengan bangsa lain, tidak kan? Lalu apa gunanya? Mau mengadopsi? Ya sudah kirim saja satu dua orang tenaga ahli untuk meniru sistem yang dinginkan untuk ditiru. Kenapa harus anggota DPR, toh tidak semua dari mereka itu orang-orang ahli, toh yang katanya mereka ahli politik, politiknya sendiri saja lo masih morat-marit. Dan semua itu memang membuat kita sangat membenci Indonesia (sebenarnya bukan kata Indonesia yang tepat).
Itu adalah contoh dari anggota pemerintah, walaupun masih banyak catatan buruk lainnya, tapi aku yakin pasti nanti bosan bacanya. Lalu bagaimana dengan masyarakatnya?
Masihkah Bhinneka Tunggal Ika ada dalam jiwa kita? Mari kita diskusikan. Di Papua, yang warna kulitnya sama, keriting rambutnya sama, sama-sama memakai koteka juga, tapi lihatlah seberapa sering mereka berperang. Bukan karena mereka adalah masyarakat daerah tertinggal, ingat kawan, mereka itu ditinggal bukan tertinggal. (aku akan bicara sedikit tentang pendidikan) Jika disana tingkatannya SMA, ternyata masih ada yang bisa disejajarkan dengan anak SD, mereka kesulitan membaca dan berhitung, dua hal pokok untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Selain itu tenaga pengajarnya sangatlah kurang, sementara di Jawa yang melimpah ruah hingga menganggur tidak mau ditempatkan disana. Baik kita kembali ke topik awal, betapa Bhineka Tunggal Ika mulai luntur dari jiwa kita masing-masing. Yang masih satu warna kulit saja masih juga berperang, bagaimana lagi dengan yang plural.
Kita, entah mengapa sejak beberapa dekade lalu seperti masih mengasingkan orang keturunan Cina. Bahkan di jaman Soeharto, orang-orang keturunan Cina harus mengganti nama mereka agar terdengar Indonesia, lalu apa manfaatnya coba, apa kalau mereka ganti nama lalu warna kulit mereka jadi coklat, apa mata mere langsung membesar. Atau sebenarnya kita yang keturunan pribumi ini iri kepada mereka, karena rejeki mereka biasanya melimpah ruah. Aku sangat tidak suka memanggil mereka Cina, dan aku berharap kalian memanggil mereka Cina. Mereka orang Indonesia, dan itu hanya bagian dari pluralisme. Kenapa kita tidak menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Masih tentang keturunan Cina, pada tahun 90an, di salah satu kawasan Jakarta, orang keturunan China banyak yang dibantai dan juga diperkosa. Dan sekarang kita masih banyak yang memanggil mereka Cina! Boleh bila kita memanggil koh atau cici, toh itu hanya panggilan seperti halnya kita punya panggilan mas, mbak, teteh, abang, uda dll. Tapi kita kenapa masih mengotakkan mereka seperti bukan orang Indonesia saja. Soe Hok Gie, keturunan Cina asli, tapi usahanya untuk memperjuangkan suara rakyat Indonesia begitu gigihnya, nasionalismenya begitu tinggi. Saat ia ditanya apa ia tidak mau ganti nama, ia menjawab, kenapa harus ganti nama, untuk menjadi seorang Indonesia adalah hati dan idealismenya hanya ada satu yaitu Indonesia, dan bila Gie yang disebut Cina itu “dibelah” dadanya maka hanya ada satu bendera, merah putih! Mereka adalah Indonesia, hanya saja keturunannya bukan orang pribumi, lalu apa juga tidak mungkin orang yang pribumi asli tidak benar-benar cinta tanah air? Mereka adalah bagian dari Bhinneka, jadi jangan panggil mereka Cina!
Betapa seringnya kita hanya menekankan Ika daripada Bhinnekanya, jadi seolah-olah yang ada adalah Ika Tumpas Bhinneka, dimana pikiran orang-orang yang menganut visi ini sangatlah kolot, hanya mau berteman dengan satu suku, satu warna kulit, satu agama, satu daerah tinggal dan identitas-identitas lainnya yang menyempitkan pengetahuan dan juga menyempitkan kenikmatan hidup yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta.
Selain tentang pluralisme yang aku anggap juga sebagai gaya sosial masyarkat Indonesia, kita harus juga melihat bagaimana rakyat Indonesia tentang perekonomiannya. Kita sudah bermilyar-milyar kali menuntut ekonomi Pancasila, ekonomi demokrasi yang mensejahterakan rakyat. Namun apa yang masyarakat lakukan, berpangku tangan! Menunggu hujan turun untuk mengairi sawah, padahal jika mau berjalan beberapa kilometer saja sudah menemukan sumber air yang melimpah ruah. Masyarakat Indonesia menunggu bantuan dari Pemerintah untuk membukakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya, tapi hanya secuil yang berpikit untuk membuat lapangan pekerjaan, yang disalahkan bila ekonomi seret adalah pemerintah, dan pemerintah. Seharusnya lebih dulu bertindak, karena rejeki dari Allah sangatlah luas, Allah itu Maha Kaya, dan Dia tidak akan miskin untuk mengkayakan semua orang dibumi. Dalam sebuah firman-Nya menyatakan bahwa “…bertebaranlah kalian dimuka bumi”, Allah meminta kita untuk berhijrah, bepergian ketempat lain untuk mencari rejekinya. Jadi lebih baik jadi pengusaha daripada karyawan, karena selain mendapatkan materi kita juga telah membukakan lapangan kerja bagi mereka membutuh. Betapa nikmatnya bila kita mampu memberi orang lain sesuatu yang bermanfaat.
Selain itu, gaya hidup orang Indonesia (tentu ini berhubungan erat dengan ekonomi) saat ini sangatlah dipengaruhi budaya asing, dan seolah-olah kita tidak tahu jati diri kita sebenarnya. Mobil ataupun motor, semuanya buatan luar negeri. Pakaian lebih mau membeli barang impor dengan harga yang selangit, daripada membeli merk lokal yang tentu akan mensejahterakan bangsa sendiri. Makanan, entah gengsi atau memang uangnya berlebih hingga bingung menghabiskan uangnya, orang Indonesia, terutama yang kaya, lebih rela mengucurkan banyak uang untuk panganan luar negeri, tapi bila disuruh ke pasar tradisional mereka akan menawar semurah-murahnya dagangan lokal. Sudah tidak perlu ditanya kenapa banyak petani yang masih saja miskin. Di Jepang, kita lihat, mereka lebih mendahulukan barang lokal, nasionalisme mereka tinggi, di India mereka lebih menyukai menggunakan kendaraan buatan sendiri, semua itu bukan karena miskin, tapi karena mereka punya nasionalisme. Menurutku, lebih banyak barang impor yang kita beli semakin banyak mendatangkan investor asing! Lalu lapangan untuk wirausahawan kita pun mengecil rasionya. Di negeri ini, untuk jadi pengusaha, bersaing dengan teman sendiri saja sulit apalagi bersaing dengan bule-bule, yang citranya dimata rakyat kita sudah bak manusia setengah dewa. Yang tersisa bagi rakyat Indonesia nantinya adalah pekerjaan sebagai karyawan, bawahan, dan kuli. Karena bule-bule itu pasti lebih suka menggunakan tenaga ahli dari luar juga yang sudah mereka ketahui kualitasnya.
Terakhir, tentang peraturan yang sering dilanggar. Rakyat kita bukan rakyat bodoh. Tapi mengerti bahwa peraturan untuk ditaati, namun yang menjadi budaya adalah peraturan ada untuk dilanggar. Dan yang menambah parah adalah para pembuat, pelindung dan penegak aturan adalah orang-orang yang tidak begitu peduli dengan aturan. Padahal seharusnya mereka jadi contoh pertama tentang menaati aturan.
Wah, sepertinya aku terlalu panjang menjabarkannya. To the point aja ya…
Indonesia dengan sejuta kebobrokannya ternyata masih menyimpan berjuta-juta milyar keindahan, kebahagiaan, kebaikan, kenikmatan dll. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (Q.S : Ar-Rahmaan). Kita terlalu banyak mengeluhkan ini itu yang buruk-buruk, tapi sedikit ruang syukur yang kita ciptakan. Bukan karena memang masalah Indonesia itu terlalu rumit, menjengkelkan dll, tapi sebenarnya hanya karena sempitnya hati kita untuk menerima dengan lapang. Terlalu 

tentang aku

Habis dengerin theme song mpkmb IPB 46 kok jadi pengen nulis gini ya…hehehe…
PROLOG…
Sangat tidak menyenangkan bila tahu bahwa uang untuk membiayai kuliah ternyata adalah uang hasil menghutang. Bukan aku sok, tapi sudah terlalu banyak hutang orang tuaku. Tambah lagi hidup di kampus “itu” bagiku memerlukan biaya yang mahal. Berarti bertambah pula uang hutang yang harus orang tuaku pinjam untuk membiayaiku. Hemh…andaikan dulu keluargaku tidak punya masalah, mungkin orang tuaku tidak akan membanting tulang untuk membiayaiku kuliah. Aku sangat tidak nyaman kuliah di kampus itu, selain sistem kuliahnya yang aku tidak suka tapi juga karena aku juga ikut memikirkan hutang-hutang yang besarnya mungkin sudah melampaui harga rumahku sendiri. Orangtuaku memang tidak menyuruhku untuk ikut memikirkan hutang-hutangnya atau bahkan menyuruhku mencari uang untuk mencari uang dan melunasinya. Mereka selalu diam-diam setiap berhutang ke orang lain, namun aku hampir selalu tahu, walaupun aku tidak tahu jumlah persisnya.
Karena aku merasa jika tetap disana maka uang yang diperlukan untuk biaya hidupku sungguh mahal, aku memutuskan untuk mencoba peruntungan di kota sendiri. Aku hijrah dari ketidaknyamanan itu menuju ketidakpastian. Gila! Memang, tapi aku merasa jika aku pindah maka setidaknya biaya yang dikeluarkan mungkin hanya separo dari biaya hidup disana. Aku pulang, maaf bapak, ibu…
.
Ini ceritanya…
Saat aku masih kecil, keluargaku tidak mengenal kata-kata kasih sayang, bapak sayang ibu, ibu sayang kakak, dll. Entah kenapa, aku tidak pernah menanyakannya. Bahkan jarang sekali kami mendiskusikan tentang kehidupan kami sehari-hari. Awalnya aku tidak memasalahkan itu semua, namun lama-lama aku mengerti bahwa ada ketidakharmonisan dikeluargaku. Aku merasa kurang, sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara yang manja dan bandel, aku membutuhkan perhatian yang lebih. Namun sayangnya ketika itu keluargaku sedang bermasalah, bahkan hampir saja broken home. Saat itu aku SD, dan aku harus melihat dan mengalami berbagai masalah dalam hidup. Aku tak tahu harus berbuat apa ataupun memposisikan diri dimana. Sungguh dilema.
Bapakku bermasalah dengan ibu, ya seperti kisah percintaan yang lain lah. Sementara kakakku yang laki-laki tidak patut menjadi seorang kakak, tidak bisa menjadi contoh yang baik. Lalu nenenkku bermasalah dengan bapakku. Aku dan kakakku yang perempuan berada ditengah-tengah mereka.
Saat itu jiwaku benar-benar belajar tentang arti keluarga, dan aku tidak menemukan arti itu dalam keluargaku sendiri. Aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana orangtuaku bertengkar, dan membanting berbagai barang yang ada didekatnya. Jika membanting gelas dapat melegakan marahnya, maka aka nada banyak pecahan gelas, bila berteriak dapat melegakan amarahnya, maka tetangga sebelah akan mendengar drama gratis. Kakakku yang laki-laki tidak sungguh-sungguh bersekolah, entah apa keinginannya, setiap ditanya tidak pernah menjawab. Kakakku ini adalah cucu kesayangan nenekku dalam keluarga besarku, tidak ada yang lebih disayang daripada dia. Tapi kelakuannya tidak seperti anak kesayangan, saat kuliahpun ia tidak sungguh-sungguh. Saat bekerja juga begitu. Sebagian besar uang keluargaku dihabiskan untuk membiayai ketidak sungguhannya itu. Imbasnya adalah jatah keuangan untuk biaya hidupku adalah hutang!
Aku muak dengan semua ini, aku muak tapi tak berani bicara, siapa juga yang mau mendengar omongan seorang bocah ingusan seperti aku. Saat aku kecil aku sering sekali sakit sampai badanku sangat kurus seperti orang busung lapar. Kata orang tuaku itu karena emang sistem imunku yang lemah. Padahal saat aku masih balita, segala jenis imunisasi aku ikuti tanpa pernah absen, begitu cerita ibuku. Kalau hipotesisku, mungkin sebenarnya itu karena jiwaku yang sakit. Aku belum siap untuk hidup dengan permasalahan yangs seperti itu walaupun mereka semua tidak memintaku untuk ikut dalam masalah mereka, namun aku adalah bagian keluarga, aku ada disana, aku sudah merekam semuanya, bagaimana aku bisa menghindar.
Dulu, sebagai anak yang bungsu, selain dimanja aku juga menjadi pelampiasan kemarahan, karena tentu argumen seorang bocah sangatlah mudah dipatahkan. Waktu SMA, setiap ada masalah yang tidak selesai, dan aku membuat sedikit kesalahan maka akulah yang menjadi bahan mengeluarkan semua kemarahan di hati. Sungguh tidak rasional hanya karena masalah kecil aku dimarahi sedemikian rupa. Hal ini berimbas kepada diriku yang akhirnya meniru gaya mereka yang suka memperbesar masalah.
Waktu aku masih kecil, setiap selesai dimarahi dan hampir selalu berujung tangis, aku selalu mengurung diri, atau bersembunyi entah dimana untuk berimajinasi sejadi-jadinya. Aku berimajinasi bagaimana bila aku pergi dari rumah, lalu hidup dijalanan bersama anak-anak jalanan, kelihatannya menyenangkan, aku mendambakan kehidupan seperti itu dimasa kecil dulu. Aku menginginkan itu karena aku merasa aku sudah tidak berguna lagi bagi orang-orang disekitarku. Sampai aku SMA pun aku masih sering merasa tida berguna bagi orang lain, mungkin karena ini sudah menjadi template bagi otak dan jiwaku.
Aku tidak suka dengan cara keluargaku “berkeluarga”. Aku mulai mencari celah-celah untuk mengingatkan, tentu tidak dengan ucapan karena pastinya akan sangat menggurui. Aku lakukan dengan tindakan-tindakan. Dengan perilaku, dengan kepribadian. Dan beruntung kehidupan keluargaku menjadi lebih baik.
….
Ini inti ceritanya…^o^
Awalnya aku bilang ke Fauziah tentang alasanku terjun di bidang kesehatan, kedokteran utamanya. Alasan ini mirip dengan alasannya mbak Vivi, yang walaupun klise, tapi inilah alasanku.
Aku ingin membawa taraf kesehatan di Indonesia menjadi lebih baik. Setidaknya didaerah-daerah terpencil dan daerah tertinggal (sebenarnya buka daerah tertinggal tapi daerah sengaja ditinggal) mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai dan kalau bisa sama dengan yang ada di kota-kota.
Beberapa periode yang lalu, kita disuguhi iklan sebuah partai yang memperlihatkan seorang bidan yang bertransportasikan perahu untuk melayani masyarakat yang berada didaerah yang terpencil. Setidaknya aku juga mempunyai semangat seperti itu saat ini, mungkin mbak Vivi juga begitu, ia ta mbak Phie?
Namun setelah beberapa bulan dirumah, alasanku untuk berada disini dan mengenakan alamamater ini bertambah lagi. Alasanku adalah karena orangtuaku. Aku ingin mereka melihatku memakai toga dan mendapati aku bergelar Sarjana. Aku ingin mereka tersenyum bangga, karena aku telah membawa cita-cita mereka juga ke tingkat yang lebih tinggi. Aku ingin segera lulus, karena aku sungguh aku tidak menjamin apakah mereka masih mampu untuk datang ke wisudaku jika kuliahku ini tertunda kelulusannya.
Bapakku umurnya 50an, rambutnya sudah putih, namun ia rutin mengecat rambutnya agar berwarna hitam, ia sekarang juga sudah mudah lelah. Beberapa tahun yang lalu ia terkena serangan gejala stroke, sebagian tubuhnya lumpuh. Bisa membayangkan bagaimana bila melihat orang yang telah merawat kita sejak kecil tergolek tak berdaya di kamar? Sungguh sangat sedih. Setelah beberapa kali ke dokter dan rajin minum air kacang hijau rebus akhirnya penyakitnya sembuh. Namun beberapa waktu yang lalu, ia sering mengeluhkan kepadaku tentang tangannya yang terkadang kesemutan dan agak sulit digerakkan. Aku tidak tahu harus berkata apa, aku menjawab seadanya saja.
Dulu waktu mengantarku ke Bogor, bapak sakit namun ditahannya, dan ia pulang dengan keadaan yang sangat lemah. Aku tidak akan pernah melupakan hari itu, karena saat itu aku sadar bagaimana perjuangannya untuk mampu menyekolahkan anaknya setinggi mungkin itu sangat berat. Mungkin lebih mudah bila seorang bapak diminta untuk memindahkan gunung Himalaya.
Ibuku umurnya hanya selisih satu tahun dari bapak, ramputnya juga sudah ramai dengan uban, giginya yang dulu indah sekarang banyak yang sudah berguguran dan memaksa ibuku untuk memakai gigi palsu, karena beberapa giginya yang depan juga sudah ompong, menambah lucu saja bila ia tersenyum.
Ibuku menderita kencing manis juga darah tinggi. Terakhir kali aku mengantarnya ke dokter sebulanan yang lalu, dokter sampai harus mengecek tensi darhnya berulang-ulang karena tidak percaya dengan tekanan darah ibuku yang sangat tinggi. Mungkin bagaimana mungkin tensi darah yang sedemikian tingginya namun tetap bisa seperti ibuku. Entahlah, Allah kan Maha Pengasih dan Penyayang. Sejak tiga bulan yang lalu ibuku selalu mengeluhkan lututnya yang sering sekali nyeri, sangat nyeri katanya, entah kenapa dokter juga tidak begitu jelas menerangkannya. Sungguh sangat sedih, bagaimana mereka tidak bisa menikmati masa tuanya. Beruntung dirumah, ada seorang cucu perempuan yang lucu, menggemaskan dan menyebalkan…hehe. Sebagai penghibur dikala lelah, sedih ataupun sakit.
Bila aku asumsikan mereka sebagai sumber ekonomi, maka seharusnya mereka sudah harus beristirahat karena usia mereka yang sudah sepuh bagiku. Aku sadar bahwa mereka telah berusaha semaksimal mungkin untuk membiayai hidupku dewasa ini. Walaupun sebagian besar adalah dengan modal hutang, tapi ini bukan kenekatan orang tuaku tapi ini adalah tekad mereka untuk bisa mensarjanakan anak-anaknya. Mereka sadar sepenuhnya bahwa pendidikan adalah investasi yang tak bernilai harganya, meskipun orangtuaku sering mengeluhkan jumlah uang yang telah mereka keluarkan, itu wajar. Beruntung karena ibuku guru, dan sekarang ada sertifikasi, jadi bisa nyicil untuk melunasi hutang. Hehe…Allah akan memberi rejeki yang datangnya tidak bisa kita tebak.
Kata Kyai dipondokku dulu, kalau dalam mencari ilmu masalahnya cuma rejeki, Allah itu Maha Kaya, pasti selalu ada jalan bagi mereka yang benar-benar mau mencari ilmu.
Tentu, kali ini kau akan bersungguh-sungguh dalam menjalani kuliah. Akan berusaha sebaik dan sekuat mungkin. Membuat mereka yang telah membantu aku untuk bisa kuliah menjadi bahagia dan bangga.

Aku Benci

Andai saja
Embun sanggup meniadakan rindu
Aku pasti akan bangun jauh lebih awal
Menyentuh setiap butirannya
Bergetar menikmati basah dan dinginnya
Tapi tetap saja sama!
Sial! Aku masih merindukanmu
Dan aku sangat membenci itu!
Karena tak sekalipun aku bisa menghadirkanmu
Saat aku rindu
Saat ini, dan mungkin juga nanti
Andai saja
Terik matahari sanggup meniadakan ingatanku tentangmu
Aku akan berpanas panas sampai ia padam
Sibuk dengan peluh keringat
Tersiksa oleh lepuhan kulit karena sengat
Tapi tetap saja sama!
Sial! Engkau masih bebas menari-nari dalam imaji!
Dan kau tahu, aku sangat membenci itu!
Karena tak lagi sebutir senyummu itu untukku
Aku membenci semua itu!
Aku benci saat cinta berkoar-koar!
Berkampanye dari waktu-waktu ke hati
Dan kau tahu,
Selama ini tak lagi aku dapat apa yang ia bicarakan!
Sementar yang lain damai hidup berdua
Terkadang lebih senang mendua

cinta dalam diam

Suara merdu bukanlah milikku
Jutaan nada sumbang terdengar dari nyanyianku
Lalu aku menyanyi dalam diamku
Menyanyikan nada-nada indah dalam syairku, tentangmu
Menari luwes tak pernah sanggup aku lakukan
Badanku kaku seperti ranting kering musim panas
Lalu aku menari dalam diamku
Menarikan milyaran gerakan anggun dalam syairku, tentangmu
Melukis indah bukanlah kegemaranku
Lukisanku bahkan bisa disamakan dengan coretan bocah
Lalu aku melukis dalam diamku
Melukiskan dunia imajinasi dalam syairku, tentangmu
Memahat patung tak pernah selesai aku kerjakan
Bahannya selalu hancur dan menjadi karya abstrak
Lalu aku memahat dalam diamku
Memahat keajaiban kata-kata dalam syairku, tentangmu
Berbicara bukanlah hal yang mudah bagiku
Semua kata yang ingin kuucap terkunci sebuah perasaan
Lalu aku berkata mencintaimu dalam diamku
Aku mencintaimu dalam diamku, dalam syairku

Harus disebut apa negeri ini?

Gadis kecil bercerita kepadaku
Siang hanya jajan malam belum makan
Pagi ini perut keroncongan
Inikah yang disebut kemakmuran
Sawah terhampar luas dari timur ke barat
Tapi tak pernah di meja kulihat
Sebakul nasi putih hangat
Tak juga lauk pauk sehat
Inikah makna pertanian
Kompor-kompor kosong mulai berkarat
Janji-janji kosong telah jadi rejeki rakyat
Nelayan masih merajut jala
Merajut mimpi-mimpi yang tak pernah nyata
Melaut bersama harapan yang ikut hanyut
Pulang pagi dengan doa istri tak marah lagi
Inikah yang disebut Negeri Maritim
Anak kecil tak lagi bisa bermain di luar
Hari-harinya dipenuhi busung lapar
Ketika sakit telah hidup ditubuh
Dukun jadi primadona di desa-desa
Karena dokter memilih harta daripada etika
Inikah makna kesehatan
Masih seperti belum merdeka negeri ini
Tidur di gorong-gorong
Bercampur tikus dan bau amis
Inikah yang tuan sebut peduli rakyat
Sementara di sana
Tuan berlomba menjadi yang paling kaya
Inikah yang tuan sebut cinta rakyat
Sementara di sana
Tuan sedang banyak menjilat dan bermain suap
Katanya pendidikan moral diajarkan di sela-sela
Tapi lihatlah sekarang moral penguasa
Tuhan,
Masihkah boleh kami menangis malu atas kelakuan mereka…
Meskipun adab malu tiada lagi berlaku di negeri kami
Tuhan,
Masihkah boleh kami menangis miris meminta rejeki…
Meskipun mencuri dan berdusta telah menjadi tradisi di negeri kami
Tuhan,
Masihkah boleh kami menyebut negeri ini jaya?
next