Minggu, 11 Juli 2010

TRUE STORY

Setiap orang selalu memiliki sisi hitam di dalam dirinya. Seberat apapun hidup, sepahit apapun cobaan yang Dia berikan, selalu ada pilihan sebagai jalan keluar. Jalan putih atau jalan hitam? Terkadang pilihan tidak hanya datang saat kita sedih atau dalam sebuah masalah, terkadang pilihan hadir ketika pertanyaan “mau berperan jadi apa aku?” memenuhi pikiran dan hati, hampir setiap hari. Tidak serta merta semua orang mengerti mau jadi apa dia dan jalan mana yang harus dipilih untuk ditempuh.

Tidak semua orang berkesempatan berpikir jernih dalam setiap waktu, masih saja terselip bisikan setan yang membuat keruh. Tidak semua orang berkesempatan memiliki sahabat yang selalu ada untuk melepas lelah saat ia harus memilih. Tidak semua orang mengingat Tuhan di setiap waktu dan menjalankan apa yang Dia perintahkan. Tidak semua orang memiliki cahaya hati yang selalu bercahaya terang benderang 365 hari penuh. Tidak semua orang sanggup menolak semua ajakan setan sejak ia lahir hingga nanti ajal. Semua orang tidak sempurna, memiliki noda-noda kesalahan. Semua orang ingin memperbaiki kesalahannya dan ingin menjadi manusia yang lebih baik. Dan semua orang tidak memiliki kesempatan untuk mengulang kembali waktu. Tapi semua orang memiliki kesempatan memperbaiki diri dan keadaan, di setiap milidetik yang terlewat, di setiap detik yang terbuang, di setiap jam yang tak di pedulikan, di setiap hari yang hanya sekedar di lalui.
Seorang bayi belajar berjalan pasti pernah terjatuh! Begitu juga dengan hidup, tidak selamanya manusia berjalan tegap di muka bumi, pasti pernah terjatuh. Jatuh pasti memiliki sebab, dan terkadang penyebabnya bukanlah dari orang lain, tapi dari diri kita sendiri. Dari apa yang kita pilih. Jatuh adalah sebuah kesalahan, kesalahan ini sering berdampak juga pada orang lain, pada orang-orang yang kita sayangi, dan itu semua hanya karena kita salah memilih, memilih jalan hitam! Saat menyadari keadaan mulai kacau, berantakan, kita melihat ke belakang, akhirnya menyesali. Sedih, menangis, mengutuki diri sendiri, dan hal-hal lainnya saat kita sangat menyesali sebuah perbuatan, pada akhirnya kita seperti tak mengenali siapa diri kita sendiri yang telah melakukan segala kekacauan tersebut.
Sampah, tidak berguna, dan hidup seperti sudah tidak ada artinya lagi, kata-kata seperti itu melintas. Karena kesalahan itu telah membuat banyak hal berantakan, orang-orang memandang remeh, menghina, mencaci, menjauhi, mengasingkan, dan yang lebih pedih adalah ketika kehilangan cinta kasih sayang dan kepercayaan. Kalut, mungkin seperti itu kata yang tepat untuk melukiskan saat bertanya-tanya, “apa yang harus aku lakukan?”. Dalam hati seperti ada yang berbicara, “tidak ada yang bisa kamu lakukan, apapun yang kamu lakukan itu sia-sia, sudah tidak ada lagi kepercayaan untukmu, dan hidupmu sudah tidak berguna lagi mulai sekarang”, benar sekali apa yang ia katakan, sudah tidak artinya lagi hidup ini, lalu terlintas untuk menyakiti diri sendiri bahkan lebih parahnya terlintas untuk benar-benar mengakhiri hidup dengan tangan sendiri. Di saat-saat seperti itu kita lupa, itu semua hanya bisikan setan! Mencoba menjerumuskan manusia lebih dalam kepada dosa-dosa, agar ia memiliki teman ketika nanti di neraka. Ketika seperti itu ingatlah, Tuhan itu Maha Pemurah, Tuhan itu Maha Pengampun, Tuhan itu Maha Penerima Taubat, Tuhan itu Maha Penyayang. “maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”(QS: Ar-Rahmaan). Jika memang tidak ada lagi kepercayaan bagi kita, lalu kenapa Tuhan masih memberi kita nafas? Nyawa? Hingga harapan untuk hari esok? Hati-hati, saat kalut, manusia mudah diombang-ambingkan oleh setan.
Dalam proses belajar selalu terdapat kesalahan, begitu juga dengan belajar tentang kehidupan, memilih jalan yang salah dan berperan menjadi sosok yang salah tentu saja pernah. Si A menjadi pencopet, akhirnya jadi guru ngaji, Si B awalnya pelacur, akhirnya menjadi ahli surga, si C dulunya pembunuh sekarang menjadi ustadz. Apa yang aku tunjukkan di atas adalah sebuah penjelasan bahwa tentu saja kita pernah melakukan kesalahan besar, bahkan seakan-akan tidak bisa dimaafkan, tapi kembali kepada sifat Tuhan Yang Maha Pengampun, maka kita selalu memiliki harapan untuk mendapatkan maaf dari-Nya asal kita mau meminta maaf. Bukan hanya ucapan, tapi juga perilaku kita juga harus meminta maaf, dengan kata lain menjadi orang yang lebih baik.
Yah, begitu juga dengan aku, pernah memilih jalan hitam dan berperan menjadi tokoh jalan hitam, menuruti bisikan-bisikan setan. Sampai semuanya hancur berantakan, tanpa tersisa sedikitpun untuk ku rapikan kembali. Saat itu aku tak mengenali diriku sendiri, sungguh, aku seperti frankstein, berjalan tanpa tahu arah, bertindak tanpa kehendak. Aku seperti orang paling gila sedunia, atau sebenarnya aku memang gila, entahlah. Aku memikirkan banyak hal untuk mengembalikan keadaan, seakan-akan bagiku keadaan memang bisa kembali seperti semula. Apa yang aku pikirkan aku wujudkan, aku melakukan banyak hal-hal konyol, gila, bahkan saat itu aku memang benar-benar sakit jiwa, hanya untuk meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja dan untuk mendapatkan sebuah kata, “MAAF”. Selama ini ternyata aku hidup di dunia mimpi yang sangat gila, sesaat kesadaranku kembali, aku terkejut, aku tersadar, semua ini hanya tipuan si laknat setan! Semuanya tidak akan pernah bisa kembali, itu yang aku (dalam alam sadar) pelajari selama ini. Aku yakin setan pasti sedang tertawa puas, puas melihatku seperti ini.
Pelan namun pasti kesadaranku pulih, dan penyakit “gila”ku mulai menghilang. Aku pun melakukan terapi, terapiku adalah mendekatkan diri kepada Tuhan, dan mencari kedamaian. Dalam tahap terapi, penyakit “gila” sesekali kembali, dan ternyata setan lebih kuat dari iman yang aku punya. Sedih? Sangat! Ketika itu aku tidak bisa bercerita kepada siapapun, tidak mau tepatnya, aku takut, aku terlalu takut, aku terlalu takut harga diri ini tidak lagi berharga. Aku takut kehilangan lebih banyak lagi kepercayaan dan cinta kasih. Bahkan aku takut menyentuh kehidupan setiap orang disekitarku, siapapun itu. Aku takut membuat semuanya lebih hancur dari ini. Dan aku takut aku tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini bila tahu ceritaku. Lihatlah bagaimana setan mudah sekali mengendalikanku, di bisikan olehnya ketakutan-ketakutan yang membuatku lemah.
Namun aku tak mau hanya diam berteman ketakutan, aku pergi ke suatu tempat yang aku anggap mampu merehabilitasi “sakit”ku ini. Awalnya aku yakin di sinilah tempat aku bisa lepas dari “sakit” ini. Keyakinanku tidak bertahan lama, seorang yang ku sebut “dokter” tidak bisa membuat aku menemukan kembali obat yang bisa menyembuhkanku. Setelah beberapa hari tinggal di sini, akhirnya aku bisa menyimpulkan bahwa ini bukan tempat orang sakit, tapi tempat orang sehat untuk menjaga kesehatannya, semacam gymnasium.
Akhirnya aku mencoba sejenak meninggalkan duniaku yang berantakan itu. Aku tak bisa! Aku selalu dan selalu kembali, bahkan kali ini aku berpotensi melukai yang lainnya. Ketika aku sedang dalam masa kalut seperti ini, beberapa orang, yang sebelum duniaku hancur memang aku harapkan hadir, hadir dan menyapaku, bercerita ini-itu, semuanya mengasikkan, sejenak aku seperti berlibur dari hari-hari kerjaku, yaitu hari-hari menyesali dan meratapi kesalahan. Aku menginginkan mereka, sangat ingin, aku ingin memiliki salah satunya untuk menggantikan posisi seseorang yang telah aku lukai. Semakin aku ingin memiliki semakin tak bisa aku gapai. Aku marah, marah pada diriku sendiri, keadaan, bahkan mungkin jika aku tak lupa aku marah kepada Tuhan, aku menuntut kehidupan yang seperti aku punya sebelumnya!
Hari demi hari, sakitku ini tidak sembuh juga, bahkan hampir setiap hari selalu ada goresan-goresan luka baru padahal luka sebelumnya belum juga kering. Hari demi hari tanpa kusadari aku mulai imun dengan sakit yang aku derita. Setapak demi setapak aku kembali menyusuri jalan menuju kehidupan nyata. Dunia tampak lebih cerah, meskipun aku tak pernah lagi melihat matahari terbit. Malam tampak lebih damai, meskipun penyesalan itu tak pernah pergi. Apa penyebabnya? kucari jawabannya, kutarik kesimpulan-kesimpulan dari setiap perjalanan. Dapat! Ini karena aku berusaha memohon ampunan kepada Tuhan, karena begitu takutnya aku, karena begitu menyesalnya aku, dan karena begitu “sakit”nya aku ketika itu, aku berusaha jauh lebih keras untuk memohon, lebih dari yang pernah aku lakukan bahkan lebih dari yang aku bayangkan aku sanggup melakukannya. Seseorang berkata ketika sakit seseorang akan menggunakan hati nuraninya, dan jadikanlah itu sebagai pegangan, karena hati nurani tidak pernah salah. Kuturuti kata-kata itu dengan baik tanpa aku sadari. Sebuah senyuman berhasil terlukis di wajahku.
Ini semua karena bimbingan-Nya, aku melangkah kembali, aku tahu memang sulit untuk benar-benar menjadi putih dan suci, tapi aku yakin aku akan mampu meraih status itu seperti orang-orang yang telah berasil meraihnya. Segalanya mungkin, itu yang aku percaya selama ini. Dan aku sekarang sudah hidup di dunia nyata.
Karena ingin orang-orang di sekitarku bahagia, aku memilih mengasingkan diri ke kota yang jauh, dan bahkan aku tak tahu secara pasti letaknya. Semua itu karena aku takut membuat keadaan menjadi jauh lebih buruk bukan hanya untukku, atau dia tapi untuk semuanya. Sadar kesepian, kesunyian, kehampaan, dan kepedihan akan meyakiti lagi, aku berusaha menyiapkan segala sesuatu yang aku butuhkan. Aku berusaha tidak lagi memikirkan apa yang telah aku lakukan di masa lalu, aku membiasakan berpikir positif, aku terus bergerak agar aku tak melamun, aku terus berbicara agar aku tak diam, aku terus saja mencari sahabat baru agar aku tak kesepian, aku terus saja menulis agar pikiranku memikirkan hal-hal lain, aku terus saja tertawa agar tak ada yang melihat kesedihanku, aku terus saja mengkhayal yang aneh-aneh agar aku disadarkan untuk kembali ke dunia nyata, aku terus membanggakan tempatku tinggal agar tak ada seorangpun yang memintaku pulang, dan aku meyakinkan diriku sendiri di sinilah tempatku seharusnya.
Semuanya sia-sia! Tidak sampai bertahan satu tahun! Dengan cara-Nya yang sangat unik Tuhan menunjukkan jalan yang harus aku pilih. Sebuah perjalanan pulang kampung ketika Idul Adha, adalah titi baliknya. Seorang teman menceritakan rencana kepulangannya, aku tidak tertarik meskipun aku sudah ingin pulang, sangat ingin. Masalahnya apalagi kalau bukan modal, aku kehabisan modal, dan malas rasanya meminta uang kiriman lagi, lebih tepatnya malu. Temanku tadi bercerita kalau naik kereta ekonomi sampai Surabaya modalnya tidak sampai 50 ribu. Awalnya aku tidak begitu peduli dengan kata-kata itu. Entah kenapa, kata “tidak sampai 50 ribu” itu berulang-ulang kali terdengar di telinga. Tergoda, aku memutuskan pulang. Tidak hanya pulang, aku ingin mampir dulu ke Jogja sambil menenemani perjalanan temanku yang rumahnya Klaten. Cholil Anwar.
Seharusnya kereta tujuan Surabaya lewat utara, tapi karena rencanaku tadi, aku harus lewat jalur selatan. Berangkat bersama rombongan teman yang lain, ternyata hanya aku dan Cholil yang lewat jalur selatan. Pulang kampung saat arus mudik tanpa perencanaan yang matang sama saja dengan bunuh diri. Alsannya akan aku ceritakan.
Maghrib sudah lewat 15 menit yang lalu, ketika kami sampai di stasiun Kota. Aku dan Cholil berpisah dengan rombongan, kami mencari tiket ekonomi jurusan Jogja ataupun Solo. Sial! Keretanya sudah berangkat 15 menit yang lalu. Kereta bisnis malah lebih dulu berangkat sejak sore tadi, itu yang kami baca dari jadwal yang di pasang di salah satu sisi stasiun. Kereta eksekutif? Mahal sekali kalau waktu-waktu seperti ini, selain itu masalahnya adalah semua tiket sudah terjual habis. Pikiranku kacau, lebih kacau lagi karena Cholil yang biasanya menjadi tukang lawak terlihat sangat depresi, seakan-akan akan dilarang bagi masyarakat Indonesia untuk memakan nasi, dan bagi yang melanggar akan dihukum memukuli pantat sapi sampai jadi abon. ( Lihat, kalimat itu menunjukkan aku sudah ada di dunia nyata. )
Beruntung teman seperjalanan Cholil adalah orang yang pernah hampir kehilangan nyawa karena ditabrak truk, mobil, sepeda motor, dan seekor anak sapi, jadi bagiku ini adalah masalah sepele. Masalah ini akhirnya menjadi masalah yang tidak sepele lagi ketika aku lupa apa yang di jelaskan oleh sopir angkot depan stasiun. Takut membuat Cholil berteriak-teriak tidak karuan dan akhirnya semua orang di stasiun sadar bahwa Cholil adalah Phitecantropus Paleo Javanicus terakhir yang sanggup hidup, maka aku dengan tampang innocent yang imut abis, kembali bertanya kepada seorang PM tentang keberangkatan kereta menuju Solo ataupun Jogja. Kami disuruh naik KRL ke Tanah Abang. Karena kami adalah orang jawa yang terlalu lugu, kami percaya dengan ucapan bapak tadi, walaupun sedikit curiga, karena bapak tadi tampangnya tidak meyakinkan, aku mengatakan begitu karena hanya orang aneh yang memakai helm putih bertulis PM di dalam ruangan. Cholil mulai tampak tenang, tapi tetap jelek seperti biasa. Terima kasih banyak pak! Ucapan terima kasih itu aku telan kembali, saat berhenti di stasiun Senen. Seorang ibu berumur 40an menanyai tujuan kami, dan ternyata benar, bapak PM tadi juga tidak tahu apa-apa tentang jadwal kereta, Sableng Sampean yo Pak! Kereta tujuan Jogja atau Solo juga berangkat dari Senen, itu keterangan dari ibu tadi. “Terima kasih bu! Capcus Lil!” begitu kataku. Kereta mulai berjalan pelan, aku dan Cholil meloncat dari kereta seakan-akan kami adalah orang paling merdeka di dunia.
Kampret! Semua tiket dengan tempat duduk sudah habis! Apalagi Tuhan yang ingin Engkau perlihatkan kepada kami, nuraniku bertanya sebijak itu. Cholil kembali panik, sekarang wajahnya sungguh seperti ketika seseorang tertangkap basah kentut dengan bunyi yang sangat keras tepat saat pidato presiden di gedung MPR selesai. (copas dari buku DO) Aku takut Cholil akhirnya loncat naik ke menara dekat stasiun, dan berlagak seolah-olah dirinya adalah KING KONG, akhirnya aku meminta dia untuk minum dan duduk sejenak. Beruntung dia tidak tahu airnya sudah aku jampi-jampi dengan mantra untuk orang kesurupan. Aku meminta dia tanya ke sopir taksi kalau naik bis kita harus kemana. Dia balik dan menceritakan semua penjelasan sopir taksi tersebut, ribet! Karena kami adalah orang yang hanya tahu Jakarta dari peta dan televisi, kami mengurungkan niat naik bis. Cholil ingin balik saja ke asrama, tapi sudah jam segini, (saat itu sudah jam 18.45) nanti sampai Asrama jam berapa. Kami kembali mengurungkan niat suci itu. Sumpah sekarang kami berdua benar-benar frustasi, sama seperti pemudik yang lain. Well, daripada menginap di stasiun, lebih baik membeli tiket kereta bisnis jurusan Solo walaupun kami tidak akan mendapatkan tempat duduk.
Kami berdua sudah sangat tenang, kami sadar bahwa kami butuh Tuhan. Membersihkan diri dan menghadap kepada-Nya. Setelahnya hati ini jadi benar-benar plong. Perut pun terasa plong, karena frustasi tadi, jadi lupa kalau ternyata belum di isi dari tadi siang. Makan soto Lamongan yang panas, jam dinding tukang soto menunjukkan pukul 19.08, waktu keberangkatan yang tertera di tiket kereta adalah pukul 19.25, What?! Kami tidak menyadarinya, bodoh sekali! Sotonya panas, panas sekali bagiku, tidak mendukung untuk makan cepat. Tapi Cholil yang memang keturunan kuda lumping makan seperti orang, Alhamdulillah. Aku pesan 1 gelas es batu, Cholil heran, aku tatap matanya, berusaha menjelaskan lewat bahasa tubuh, aku angkat gelasnya ke atas mangkuk dan syuuoooor, tidaaak! Satu gelas es batu memenuhi soto Lamonganku. Cholil tertawa terbahak-bahak, aku pun ikut menertawai kebodohanku ini. Sotonya langsung dingin seketika. (makin panas kan tambah lucu) Masa Bodoh! Makan, makan, cepet, cepet, sama sekali tidak peduli dengan rasanya, anda bertanya seperti apa rasanya? Makan es soto itu seperti minum es campur yang gurih dan pedas, di dalamnya berisi ayam dan irisan daun bawang. Selesai, lariiiiiiii….! Penjaga pintu masuk melihat dengan penuh curiga, sepertinya mereka menganggap kami adalah buronan teroris kelompok Noordin M Top. Beruntung, ketika melihat Cholil, mereka langsung yakin kalau aku adalah pengoleksi barang langka.
Segala puji bagi Tuhan pemilik alam semesta, akhirnya sudah berada di dalam kereta. Walaupun sudah tidak ada lagi tempat duduk yang tersedia penumpang kereta ini sangat banyak. Bahkan terlalu banyak, karena kami yang berdiri harus berbagi sedikit tempat untuk berdiri, atau duduk lesehan di tengah-tengah kereta.
Di sinilah pikiranku mulai realistis dan belajar idealis, hanya karena seorang wanita kira-kira berumur 30an berusaha pulang ke Cirebon, dan ia harus merogoh kocek ratusan ribu, rela berdesak-desakkan, bercampur baur dengan bau-bau keringat, padahal dia tampak cantik dan rapi, ia juga harus menempuh perjalanan malam yang panjang tanpa tempat duduk. Ia turun dari kereta kira-kira pukul 00.00 lewat. Lalu apa yang membuatku merubah haluan? Dari apa yang tersirat dari perjalanan wanita tadi, bahwa untuk mendapatkan segala sesuatu itu harus dengan perjuangan, bahkan untuk pulang ke rumah pun harus berjuang. Dan aku mengamini sebuah kalimat dari seorang sahabat, “untuk mendapatkan sesuatu, harus mengorbankan sesuatu”.
Semakin malam, semakin mengerti tentang bahwa semua ini sudah diatur Tuhan sedemikian uniknya. Setelah lari kesana-kesini tidak juga mendapatkan kereta, disinilah akhirnya aku diletakkan Tuhan. Aku melihat sekeliling, awalnya hampir semuanya berdiri, tapi bahan bakar di dalam perut itu ada batas minimalnya sehingga mengakibatkan tenaga tidak lagi tersuplai dengan baik.(ribet yak ngomongnya?) Hal ini menyebabkan penumpang lelah dan menyerah. Dengan soknya aku dan Cholil tetap berdiri. Seorang perempuan remaja di sebelahku menawariku koran untuk duduk, tanpa berpikir panjang, disebabkan karena otak penulis bervolume kecil, akhirnya aku menyerah Lil, terserah kalau mau berdiri terus sampai Klaten. Cholil ikut duduk. Hati yang tidak tenang memikirkan perjalanan pulang membuat sulit tidur meskipun semua lelah terasa sekali di badan, tempat untuk tidurnya pun menjadi faktor. Kaki harus di tekuk karena tidak memungkinkan bisa meluruskan kaki dengan seenak udelnya di tempat seperti itu. Kalaupun bisa meluruskan kaki, itupun harus bekerja sama dengan pihak berwajib, dalam hal ini pihak berwajib itu adalah para pemilik kursi. Anehnya, ada juga penumpang yang memiliki tiket yang bertempat duduk tapi dia memilih tidur dibawah, dan mempersilahkan penumpang di sebelahnya untuk tidur selonjoran di kursi. Lalu buat apa tadi beli tiket bertempat duduk, Sableng!
“Karcis, karcis,karcis mas.” Suara pelubang karcis, begitu aku memanggilnya, membangunkanku, dan sesuatu yang mengalir dari mulut “bleweran” kemana-mana. Malu! Untungnya saat itu masih banyak yang manggil aku Taufik Hidayat, jadi kalau nanti ada pihak yang namanya menjadi tercemar karena “iler bleweran”, itu adalah Taufik Hidayat, bukan aku. Hampir saja karcis mau aku buat mengusap itu “iler”. Seorang penumpang “nyletuk”, “Pak bayar 200rbuan kok ya lesehan to pak?” dari logatnya bicara, aku yakin penumpang itu adalah orang batak. “Yo salah sampean dewe, udah di bilang nggak ada tempat duduk’e kok yo di beli ae to.” Bapak pelubang karcis ini semakin memnguatkan keyakinanku bahwa mereka berdua adalah orang batak. Dari percakapan singkat tersebut, aku jadi ingat tentang hukum ekonomi kerakyatan Indonesia, tentang barang yang dibutuhkan banyak orang di saat arus mudik seperti ini dipastikan harganya melambung. Mendengar ucapan Bapak itu juga, membuat hasrat wirausaha dalam diriku bergejolak, aku sangat ingin menjual pisau, sabit dan alat-alat tajam lainnya untuk menggorok bapak pelubang karcis itu. Alhamdulillah ada Cholil yang mengingatkan bahwa Idul Adha besok, bapak itu yang jadi korban, jadi niat suciku tadi kembali aku urungkan.
Kereta berhenti di Cirebon, penjual membludak masuk ke dalam kereta dan mulai beraksi dengan suara-suara yang lebih berisik daripada keretanya sendiri. Tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan. Walau tengah malam sudah lewat, semangat para penjual asongan ini patut di acungan semua jempol yang aku punya. Menawarkan dari satu gerbong ke gerbong yang lain, memainkan kaki-kakinya dengan lincah untuk melewati penumpang yang tidur di tengah kereta walaupun membawa dagangan yang begitu banyak, suara mereka pun masih lantang, seolah-olah sekarang adalah pagi saat matahari terbit. Tidak semua dagangan mereka laku, ada juga calon pembeli yang sudah adu tawar dengan sengit, bongkar pasang barang dagangan, tapi tidak jadi beli. Kasihan sekali kalau melihatnya, tapi itulah hidup yang kita sering bilang, belum rezekinya. Mereka tetap sabar dan bersemangat kembali memainkan kaki dan suaranya untuk sesuap nasi bagi keluarga yang sudah menunggu di rumah. Betapa mereka memberi pelajaran bahwa harapan adalah salah satu bahan bakar utama untuk terus bertahan dalam berjuang. Tanpa berbicara kepadaku mereka juga mengajarkan bahwa semangatlah yang memaksa manusia untuk bekerja diatas batas normal. Di setiap langkah mereka melewatiku, seolah berbicara bahwa hidup itu untuk mencapai target, untuk sampai di tujuan, bukan untuk ikut arus yang mengalir, dan tujuan itu setiap orang berbeda-beda. Tujuan dan target penjual asongan itu adalah mendapatkan uang, untuk menafkahi keluarga di rumah. Lalu apa tujuan hidupku? Sesaat terlintas begitu saja. Tanpa aku anggap serius kata-kataku itu.
Setelah kereta kembali berjalan, aku berdiri, meregangkan otot-oto yang kaku. Tiba-tiba aku sangat tertarik untuk mengamati wajah-wajah penumpang. Aku lihat satu-satu, semuanya sama, ingin pulang! Tentu saja ini kan sedang hari-harinya arus mudik. Di wajah mereka yang terbaca, lelah, guratan-guratan perjuangan selama meninggalkan rumah, senyum-senyum yang ingin dibagi oleh sanak saudara, oleh-oleh yang telah dibungkus rapi untuk dibagi-bagi di kampung halaman, dan sejuta keluh kesah yang ingin segera diceritakan. Dan berbagai hal yang terbaca, yang sulit untuk dikatakan. Saat seperti ini, yang menuntunku menemukan arti keluarga sesungguhnya. Apa? Tentunya sama dengan arti keluarga yang anda miliki.
Dalam perjalananku selanjutnya, lebih banyak pelajaran hidup yang aku dapatkan. Dari satu perjalanan ke perjalanan yang lain semakin menguatkan keyakinanku bahwa aku harus mulai memilih jalan, kenyataannya terlambat memang, tapi segala kemungkinan itu bisa saja terjadi.
Masih panjang sebenarnya cerita ini, sekarang sudah jam 4 pagi, dan aku sudah sangat mengantuk. Singkat saja ya.
Kembali kepada memilih jalan tadi, setelah aku menghancurkan semuanya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, semua yang aku lakukan kelihatannya sia-sia saja tidak berpengaruh apapun. Lewat perjalan panjang pulang pergi Bogor-Lamongan selama beberapa kali, aku mengerti juga akhirnya. Semuanya harus di mulai dengan hal yang paling sulit, yaitu mengakui kesalahan diri sendiri dan memaafkan diri sendiri. Sangat sulit memang. Seorang pemenang akan mengatakan sulit tapi mungkin di capai, dan seorang pecundang akan mengatakan mungkin tapi sulit di capai. Ada perbedaan yang cukup jelas di kalimat tersebut, yang pertama ia optimis terhadap hidupnya, yang kata pecundang ia pesimis terhadap hidupnya. Dan sejak sebelum aku lahir, aku adalah pemenang, maka aku mengatakan, aku akan menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi yang lain, sulit memang tapi mungkin di capai, karena aku percaya kepada Allah SWT.
Memaafkan diri sendiri memang sangat sulit. Jadi aku membiarkannya berjalan dengan sendirinya, bukan memaksa memaafkan diri saat itu juga. Lewat perjalan kehidupan di masa yang akan datang, jawaban dari bagaimana cara yang tepat untuk memaafkan diri sendiri akan kudapat. Untuk mendapatkan jawaban itu, tentu aku harus terus bergerak, terus berjalan, terus belajar. Melihat lebih dekat, mendengar lebih dekat dan merasa lebih dekat, jika aku bisa menerapkan kata-kata ini, semakin banyak pelajaran yang aku dapatkan, bahkan hanya dari setapak langkah yang terlihat sia-sia.
Aku melangkah beberapa jengkal ke belakang, bukan untuk menyerah, tapi untuk mengambil ancang-ancang dan persiapan yang tepat agar aku bisa berlari dan meloncati jurang di depanku saat itu. Inilah jalan yang aku pilih, apapun yang terjadi aku percaya semua akan indah pada waktunya. Iniah tujuan yang ingin aku capai, sepahit apapun hidup aku masih tidak sendirian karena aku memiliki Tuhan. Inilah mimpi yang ingin aku wujudkan, aku percaya semuanya mungkin karena Tuhan itu ada. Mimpi sampaikan pada dunia bahwa aku ada. Ada untuk bermanfaat.
True Story---ical/excel/ijem/paijo
Well, ini sebagian cerita dariku, satu-satunya tokoh yang saya sebut namanya adalah Cholil, ya karena banyak hal konyol yang dia lakukan bersama aku, yang tidak saya sebutkan diatas. Buat teman-teman yang lainnya, nggak usah cemburu, nanti akan ada cerita-cerita lainnya tentang arloji, b15, ossmada, alsaid, temen smp, sd, tk. Dan lainnya. Thanks atas partisisapinya. Tanpa sahabat apalah artinya hidup, tidak hanya untuk dikenang, ia to?
NB:
Buat seorang wanita yang entah dimana saat ini, aku tak tahu, tapi kata “MAAF” adalah kata yang sangat berharga dalam setiap malamku. Dan memaafkan adalah tidak mengenang kesalahan orang dan tidak menganggap orang itu tidak ada bedanya dari waktu ke waktu. Setiap orang selalu berusaha untuk menjadi lebih baik, dan sudah sampai dimana usahanya yang bisa menilai secara mutlak hanyalah Tuhan.
prev next