Rabu, 13 Juli 2011

17 januari 2010

17 januari 2010
Umurku genap 18 tahun.
Hidup tanpa tujuan hidup ternyata baru aku sadari sangat membosankan dan membuat hati menjadi lemah. Yah 17 tahun yang lalu aku tidak memiliki tujuan hidup kawan. Malah beberapa dari bagian hidupku adalah perusak tujuan hidup dari orang lain. Dan juga menjadi perusak hidupku sendiri dengan bertindak seabagai aktor kejahatan.
Lubang yang sangat besar aku rasa memenuhi hatiku, sampai-sampai setiap malam susah tidur bukan karena insomnia atau minum kopi, tapi hatiku gelisah. Aku sadari selama ini aku hidup hanya dengan “apa kata orang”, tanpa memiliki tujuan yang jelas untuk berlari.
Alhasil sebuah kekecewaan dari ekspetasi yang berlebihan saat ini aku dapatkan. Aku sangat jenuh tinggal di tempatku saat ini. Bukan aku tidak betah, aku betah, temen-temennya asyik euy. Bisa mengenal pribadi yang bermacam-macam dengan masa depan yang bermacam-macam juga, dan hebatnya itu semua bisa menyatu tanpa perselisihan, malahan setiap hari diisi dengan tawa dan canda. Tapi diantara itu semua, berbagai macam pikiran dan pertanyaan melintas tanpa aku atau orang lain bisa membendungnya. Apa alasanku memilih di sini? Apa alasanku untuk meneruskan ini semua? Kenapa aku selalu menuruti apa kata orang? Kenapa aku dulu tidak memutuskan sendiri yang pantas untuk masa depanku? Pertanyaan itu dan juga lainnya memenuhi pikiranku saat ini.
Saat memasuki usia 18 tahun, yang teman-teman seangkatanku rata-rata sudah berumur 19 tahun, aku tiba-tiba merasa bahwa waktuku semakin sempit, seperti akan ada yang datang dan ada yang harus aku persiapkan untuk menyambut kehadirannya. Kemudian pertanyaan sekaligus pernyataan tiba-tiba terasa menjawab semuanya, apa yang bisa diberikan seorang sarjana peternakan seperti aku jika tujun utama kuliahku adalah untuk mendapat kerja. Ibuku bilang, ya tar kerja di bank. Ya memang lulusan kampusku sering diterima kerja di tempat yang malah bukan jurusannya. Konyol bagiku, lalu untuk apa selama ini ilmu yang aku kejar dan dapatkan. Lalu sebenarnya untuk apa aku kuliah. Jauh-jauh lagi.
Teman-teman SMA memang tidak semuanya ada pada pilihannya yang tepat, ada beberapa yang sama denganku. Dan bukannya kami tidak mensyukuri apa yang telah diberikan, tapi kami mengejar apa yang kami impikan dan menjadi tujuan hidup kami. Apa itu salah?
Semangat untuk mendapatkan semua itu, menyala perlahan-lahan. Dan aku selesaikan satu persatu masalah yang ada, biar jalanku semakin jelas akan kemana. Karena hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan hal yang besar adalah menyelesaikannya satu persatu.
Ini semua memang sudah jalan Tuhan, kemana aku dibawa-Nya untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih dewasa. Aku ditempatkan disini, bukan berarti takdirku juga ada disini, tapi ini adalah jalan pendewasaan dan jalan didikanku untuk mencapai takdir tersebut.
Untuk sebuah tujuan hidup dan sebuah pembuktian kepada orang lain, apa aku salah jika aku menginginkan yang lain? Yah, mungkin aku terlalu berharap yang tak tentu, tapi aku yakin apa yang saat ini aku sebut tujuan hidup akan aku dapatkan.
Temukan tujuan hidup kalian, dan jangan menyesali perjalananmu meskipun menjenuhkan.










Tak pernah aku menyesali yang ku punya
Tapi kusadari ada lubang dalam hati
Ku cari sesuatu yang mampu mengisi lubang ini
Ku menanti jawaban apa yang dikatakan hati
Ku mengira hanya dialah obatnya
Tapi kusadari bukan itu yang ku cari
Ku teruskan perjalanan panjang yang begitu melelahkan
Dan ku yakin kau tak ingin aku berhenti

Lirik lagu letto lubang dalam hati mengisi hari-hariku beberapa hari ini. Liburan tidak bisa kemana-mana, membuatku hanya melamun dan merenung. Sejak umurku berganti kemarin, aku mulai memikirkan masa depanku dengan serius, sangat serius.
Masa depan dan cita-cita itu berkorelasi. Dan tidak semua orang menemukan cita-citanya berdasarkan usianya. Ada yang sejak kecil sudah memiliki cita-cita, ada yang sudah remaja atau dewasa baru menemukan cita-cita sebenarnya. Sebenarnya banyak orang yang memiliki cita-cita yang simple, misalnya jadi orang sukses atau membahagiakan orangtua. Tapi ada yang memiliki cita-cita yang luar biasa, malah bisa dibilang gila, Andrea Hirata contohnya, ingin menjelajah Eropa hingga Benua Afrika, dahsyat kawan. Bagaimana dengan kita? Dengan aku?
Setelah aku kuliah selama beberapa bulan ini, uniknya aku baru menemukan cita-cita. Apa cita-citaku? Yah, biar aku dan Allah yang tahu, karena cita-cita belum terwujud. Kenapa baru sekarang menemukan cita-cita? Karena kau seorang pemalas dan pemasrah, malas berpikir dan malas bekerja, juga suka mendoktrin diri untuk memasrahkan semuanya kepada Allah tanpa dibarengi usaha. Prinsip yang salah, kawan.
Perjalanan panjang Surabaya-Jakarta, Jakarta-Bogor, sendirian, membuatku memahami kehdupan. Kehidupan orang disekitarku dan juga kehidupan orang-orang yang selama ini tidak aku kenal. Bagaimana seorang penjual kopi yang sudah renta menjajakan dagangannya, padahal saat itu sudah jam 02.00 WIB, hanya demi sesuap nasi hangat dipagi hari untuk anak istri. Bagaimana anak-anak sambil menengadahkan tangannya, menyapu lantai kereta yang penuh dengan sampah penumpang. Wajahnya berkeringat, hitam, pakaiannya lusuh, tangannya kotor. Sementara anak-anak lainnya sedang berebutan berbagi uang hasil mengamen di belakang gerbong. Lalu, orang dengan tangan atau kaki cacat, gondok, tumor dan penyakit-penyakit lainnya, menguatkan diri untuk berjalan demi sekeping uang yang penumpang berikan. Salah seorang wanita menyebarkan amplop di pangkuan penumpang, di amplop itu ada tulisan tangan yang tercetak miring dan tidak beraturan, “Bapak, Ibu, saya mohon belas kasihan bapak ibu, adik saya pengen sekolah tapi tidak punya biaya, mohon belas kasihan bapak ibu.” Kurang lebih seperti itu. Ada kata-kata yang membuat aku seperti ditampar oleh tangan ghaib, “adik saya pengen sekolah tapi tidak punya biaya”. Adiknya punya cita-cita kawan, dan adiknya tahu sekolah adalah jalan untuk meraih cita-cita. Meskipun aku tidak tahu apa benar uang yang diisi di amplop itu untuk adiknya yang ingin sekolah, masa bodoh, bukankah kita harus berprasangka baik kepada orang lain?
Sebelumnya, bulan agustus tepatnya, aku dan teman-teman seangkatan MPKMB (Masa Perkenalan Mahasiswa Baru), yah sejenislah sama Ospek. Seru euy! Tidak perbedaan, semuanya menyatu dengan caping setia dikepala dan baju warna-warni menempel ditubuh. Dengan keplek berbentuk bintang dengan 6 ujung menempel didada selalu. Graha Widya Wisuda (GWW), tempat semua Maba dikumpulkan, menjadi sebuah saksi perubahan yang akan aku lakukan selanjutnya. Presiden Mahasiswa yang sering disebut Presma, memberi wejangan yang dahsyat, sebuah motivasi yang membuatku menyadari selama ini aku menutup diri dari dunia. Hatiku menjerit, saat itu juga, rencana besar aku khayalkan, aku tetapkan dihati, meski kedepannya nanti khayalanku saat itu luntur satu persatu karena kenyataan yang aku jalani. Presma IPB saat itu menuturkan tentang kenapa sih kita harus bangga kepada IPB, lalu dia juga menjelaskan tentang manfaat dari mahasiswa. Yang masih saya ingat sampai sekarang itu, kurang lebih seperti ini, mahasiswa itu memang kewajiban utamanya adalah pelajar, tapi, mahasiswa punya kewajiban lainnya sebagai intelektual bangsa. Mahasiswa adalah golongan paling netral di negara ini. Kita adalah amanah dari rakyat untuk memperjuangkan nasibnya, kita sekolah di sini dibiayai oleh rakyat kawan. Dan ketika mereka mendapatkan masalah apa kita tetap diam saja dan terus fokus kepada belajar kita? Apa kita bisa tenang belajar ketika rakyat-rakyat bangsa ini menjerit kelaparan? Ketika kita berbicara tentang derita rakyat, tanamkan dalam hati kalian kalau ini bukan derita mereka, bukan derita kita, tapi derita saya. Jadi ketika anda melihat, mendengar, mengetahui derita mereka, maka anda akan langsung berpikir dan bertindak untuk membantu. Jduar…kata-kata itu mengena dihati dan pikiranku, selama ini apa yang aku pikirkan? Selama ini apa yang aku pedulikan? Selama ini apa yang sudah aku lakukan?
Lain dengan presma, lain juga dengan rektor pertama dan kebanggaanku yang satu ini, Prof. Dr. Ir. H. Herry Suhardiyanto, M. Sc., berbeda dengan presma yang menjelaskan manfaat dan tugas-tugas mahasiswa, rektor IPB menjelaskan tentang prestasi IPB, eksistensi IPB di Indonesia dan mancanegara, serta manfaat pertanian dalam arti luas bagi kelangsungan hidup warga Indonesia dan dunia. Setiap kata yang diucapkan ditata dengan rapi dan terasa sangat bermakna dengan tingkat intelektualitas yang tinggi. Di akhir pidatonya, beliau memberi wejangan berupa rasa terima kasihnya karena telah mempercaya IPB sebagai universitas pilihan. Serta beliau juga memberi wejangan tentang orang tua, agar kita berterimakasih kepadanya. Di layar yang besar didepan lebih dari 3000 mahasiswa, terpajang gambar seorang pria tua dengan guratan keriput tanda kerasnya perjuangannya selama ini. Lalu, lagu Ebiet G Ade, titip rindu buat ayah, mengiringi narasi dari rektor. Sontak seluruh isi GWW dibius oleh rasa haru, tangis air mata tak terbendung dimana-mana. Kawan, inilah pertama kalinya aku menangis haru yang paling haru, aku ingat kembali semua memori tentang bapakku, dan tangis itu semakin tidak bisa dibendung barang sedetik saja. Lagu Ebiet sudah sampai Reffnya yang kedua, semua peserta MPKMB yang semula hanya meneteskan airmata kini mulai bersuara, tersedu, bahkan beberapa dianatara kami istighfar. Lagu Ebiet usai, tapi narasi rektor berganti tentang ibu, dan lagu Melly Goeslaw, Bunda, mengiringi narasi rektor. Oh Tuhan, lagi, tangis kali ini lebih meledak saat mencapai reffnya. Malu? Kami tidak berpikir tentang itu saat itu, masa bodoh dengan malu. Tangis kami bukan karena sekarang kami akan hidup mandiri di asrama yang kebebasannya terbatasi, dan jauh dari orang tua, tetapi juga amanah dan tanggung jawab yang harus dibebankan kepada kami sebagai itelektual muda bau kencur. Berjuta tantangan dan rintangan sudah menanti untuk dihadapi dan dijawab. Dunia semakin terasa lebih luas setelah semua narasi dari rektor usai. Dan masa depan baru dimulai, bahkan beberapa baru memulai untuk merencanakan. Kami semua berdiri, dengan bangga yang terpancar tak terkira diwajah kami, tanpa diminta, lambaian caping, yang senantiasa menutupi kepala-kepala botak para lelaki, mengiringi langkah rektor menuju pintu keluar. Terima kasih bapak, itu tepatnya yang aku ucapkan.
Sebuah khayalan, menjadi keinginan, lalu berubah menjadi harapan, kemudian bermetamorfosis menjadi cita-cita, dan akhirnya menjadi prioritas. Jati diri memang bisa dirubah, tapi tidak semuanya mau untuk diubah. Berbagai macam tes aku ikuti untuk masuk universitas negeri, tidak sedikit uang, waktu dan mental yang aku korbankan. Tidak hanya aku, tapi juga temanku yang lain yang memiliki tujuan yang sama , universitas negeri, beberapa diantara temanku bahkan menghabiskan uang ratusan juta untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Dunia itu memang adil dan juga tidak adil, beberapa temanku diterima langsung dikesempatan pertamanya, tapi ada yang harus menunggu kesempatan terakhir untuk masuk perguruan tinggi. Bagaimana dengan aku? Aku sangat ingin masuk UGM, yah walaupun saat setelah mengikuti tes aku melakukan tindakan yang setelahnya mengubah cara pandangku kepada orang lain dan diriku sendiri. Aku tidak memperhitungkan kemampuan dengan pilihan jurusan, aku hanya bermodal niat dan yakin, untuk belajar, cuma setengah-setengah. Teknik nuklir (aku memilih karena tertarik dengan cerita dari guru Biologiku, pak Agus), Ilmu gizi (karena aku merasa kurang gizi dan begitu juga rakyat bangsa ini), fisika (yang satu ini aku ditertawakan temanku, karena kau sering remidi fisika, tapi dari semua pelajaran, aku lebih berminat kesana, dan sekarang di IPB, ada temenku yang bilang aku berbakat dibidang itu), itu adalah jurusan-jurusan yang aku pilih di UGM. Dan saat tes, aku pilek, demam dan pusing, dosen yang menjadi saksi saat itu sampai tidak tega, jadi dia membuka jendela disebelahku, berpuluh-puluh tisu sudah aku habiskan untuk membuang ingus, aku buang begitu saja keluar jendela, masa bodoh dengan lainnya, aku lagi sakit. Sebelum tes di UGM, aku mengikuti tes mandiri di UNDIP, aku merahasiaknnya dari teman-temanku, karena ini adalah tes pertamaku. Jurusan yang aku pilih teknik geologi dan fisika, lagi-lagi fisika. Aku memilih teknik geologi karena jurusan ini, menurut informasi yang aku dapat, prospek kerjanya bagus. Sebelumnya, aku mengalami kecelakaan, tapi untungnya saat tes lukaku tidak mengganggu. Beberapa hari sebelum tes, aku mencoba menghubungi guru yang menurutku sangat berjasa dalam perjalanan pendidikan dan hidupku, Bu Rara Sri Utami. Beliau sudah mengajarkan bagaimana kita harus berjuang dan mengorbankan sesuatu jika ingin mendapatkan sesuatu. Tapi, entah beliau memang sibuk atau sedang tidak ingin diganggu, aku tidak berhasil berbicara dengan beliau.
Beberapa minggu setelah tes-tes itu aku lewati, kehidupanku bergejolak dengan masalah-masalah remaja. Pengumuman UNDIP dan UGM sudah keluar, semua kelas tiga yang ikut tes UGM heboh, sementara pengumuman UNDIP tidak ada yang tertarik karena yang kau tahu, dari sekolahku hanya ada dua orang yang ikut, aku dan Hafidz Zulfikar temanku. Banyak diantara kami tidak diterima di universitas dengan nama yang sudah mendunia itu. raut wajah kecewa dan sedih terpancar dari kami, tapi life must go on, kami mengikhlaskan, dan berkata bahwa memang bukan rezekinya, dan Allah pasti akan menempatkan kami ditempat yang lebih baik bagi kami. Tapi, Alhamdulillah aku keterima di UNDIP, tapi jurusan fisika. Hatiku senang bercampur gelisah, apa yang bisa diberikan sarjana fisika nantinya? Itu pertanyaanku. Setelah aku buka internet dan aku cari tahu informasi pembayaran, ternyata jumlah uang yang harus aku lunasi berjumlah dua puluh juta rupiah. Dengan kondisi ekonomi yang masih dalam tahap kurang saat itu dan juga karena jurusan ini bukanlah prioritas lapangan kerja saat ini, maka aku mengundurkan diri.
PMDK prestasi UNAIR dibuka, teman-teman sekelasku banyak yang ikut dan mengincar jurusan yang paling favorit, kedokteran. Aku, Irfan dan Heru, sahabat-sahabatku, menginap di rumah tantenya Heru sehari sebelum tes berlangsung. Sebelumnya kami daftar ulang, menunggu lama, dan wajah tambah kusam setelah sebelumnya dinodai debu-debu jalanan. Waktu daftar ulang kami harus mengisi formulir terlebih dahulu yang didalamnya terdapat pilihan jurusan. Heru dan Irfan dipilihan pertamanya, memilih kedokteran, memang mereka orang-orang pintar, aku maklumi. Sementara aku cukup dokter gigi saja dipilihan pertama, padahal gigiku gingsul dan tidak rata. Tapi kawan, entah kenapa, mungkin karena alam sadarku terpengaruh mereka berdua, jurusan yang aku hitamkan adalah kedokteran dan kedokteran gigi. Oh Tuhan, lalu aku menghapus salah satunya, karena kertasnya kualitasnya kurang baik dan bila aku hapus keduanya maka kemungkinan bisa robek, maka aku hapus kedokteran gigi aku ganti kedokteran hewan. Kenapa? Karena aku mempertimbangkan grade-nya. Sekarang aku sudah berpikir tentang prioritas. Doa dan belajar mengiringi langkahku, tapi Allah berkehendak lain, tesnya hanya diberi waktu sebentar, sementara soalnya susah, dan lagi aku terjebak dengan terfokus disalah satu soal, sementara yang lainnya kau biarkan. Dan bodohnya lagi, aku tidak membaca peraturannya, aku kira sama dengan peraturan tes di UGM dan UNDIP, ternyata beda! Tidak ada nilai minus! Hal ini aku ketahui setelah selesai ujian dan temanku bercerita. Aku terkejut, kalau begitu kenapa tadi tidak aku isi semua, sementara tadi banyak yang belum aku lingkari karena takut minus. Alhasil aku tidak lulus kawan. Wajar.
Ujian Nasional yang konyol menurutku terlewati dengan keyakinan lulus seratus persen. Alhamdulillah memang seperti itu. Fokus sekarang beralih ke Universitas negeri, banyak temanku yang sudah mendapatkan tempat yang nyaman. Sementara aku sudah dua kali ditolak. Aku takut tidak kebagian tempat. Bersama sahabat-sahabatku, aku ikut bimbingan di Primagama Surabaya, dekatnya ITS. Bimbingan itu sangatlah bermanfaat, meskipun aku beberapa kali tidak masuk.
Pertama aku kenal IPB dari temanku yang aku kenal lewat jejaring sosial friendster, Ayu Wulansari. Setelah beberapa kali bertemu dan ternyata naksir juga (maaf Yu namamu tak bawa-bawa), aku dikasih tahu tentang IPB. Lalu aku dibujuk dia untuk ikut tes di IPB. Wajar aku terbujuk, cara dia menjelaskan ke aku sudah seperti sales, wajar dia begitu karena dia itu juara 1 Yune Bojonegoro (sebuah ajang pemilihan Duta Pariwisata). Aku daftar tes yang bernilai empat ratus ribu tersebut.
Di internet bisa daftar ulang kamis, tapi pas aku datangi bersama sahabatku Diky, tempatnya kosong. Daftar ulangnya masih besok, ah capek-capek tapi salah. Besoknya kau berangkat sendiri ke UPN Veteran di Rungkut. Dengan soknya aku mencoba mengingat-mengingat, tetapi kenyataannya aku hanya memuatri kawasan UNAIR dan sekitarnya sekitar dua kali. Bodoh banged. Akhirnya orang bodoh ini bisa keluar dari ke-udik-kannya, aku berhasil keluar dari kawasan itu, tapi senyumku hanya terlihat sebentar, perasaanku mulai tidak nyaman, perasaan Diky kemarin bukan lewat jalan ini. Aku menepi tanya kepada ibu-ibu penjaga warung pinggir jalan. “Wah kebabalas mas, Rungkut tu disana, jauh” sambil menunjuk jalan yang berlawanan. Terima kasih ya Allah, kekonyolan ini meredakan tensi jantung sebelum berperang keesokan harinya. Setelah beberapa kali bertanya kepada orang tak dikenal. Akhirnya sampai juga, tapi sebentar lagi adzan jum’at berkumandang, sementara sejumlah formulir belum aku isi, karena kau datang terlambat. Shalat jum’at dulu akhirnya, setelah kembali, aku isi formulir. Awalnya aku hanya berminat disatu jurusan, Manajemen kehutanan, tapi kata bapak yang menjadi panitia (belakangan saya ketahui adalah dosen IPB, bahkan salah satunya ternyata sekarang jadi pembantu Rektor), pesertanya cuma sedikit sekitar tiga ratusan. Wah, peluang masuknya besar nih, saya menimang-nimang lagi jurusan satu lagi yang harus saya pilih. Karena dalam tes ini berhak memilih dua jurusan. Saya tidak memilih kedokteran hewan karena gradenya berat, teknologi pangan tidak berminat, ilmu gizi menjadi trauma karena di UGM tidak diterima, akhirnya saya milih dengan melihat jumlah pagu yang besar, dan akhirnya saya memilih Teknologi Produksi Ternak. Entah kenapa saya memilih itu, asal saja. Saat menyerahkan formulir yang sudah lengkap saya isi, seorang panitia berkata saya foto saya mirip Taufik Hidyat. Ha…ha…ha… akhirnya saya malah bercanda dan bercakap-cakap dengan bapak-bapak panitia.
Hari tes dimulai, peserta dari Surabaya hanya 40 orang. Pagi-pagi saya bangun, baca yasin dan berdoa kepada Allah agar dimudahkan. Tentunya malamnya saya belajar. Saya sarapan didekat UPN, sarapan bubur ayam, yang sampai sekarang saya jatuh cinta dengan bubur ayam disana. Yang datang baru saya dan seorang cewek yang diantar ibunya. Saya menunggu sambil belajar bahasa inggris yang saya akui paling tidak saya bisa selain fisika. Tiba saat panitia memanggil peserta, ternyata ada satu yang tidak hadir, setelah dihubungi ternyata dia tidak jadi ikut. Setelah melihat sekitar, saya akhirnya menyadari ternyata didepan saya ada cewek yang cantik euy. Ternyata cewek ini rela jauh-jauh ikut tes dari Kediri atau Madiun gitu, saya lupa. Tes yang melelahkan selesai. Saya merasa tes tadi lancar-lancar saja. Optimis itu harus kawan. Jangan menjadi orang pertama yang meragukan kemampuan anda sendiri. Pulang, tapi di daerah rungkut industri ada razia polisi. Surat-surat diperiksa, bebas, pulang.
Hari kedua, masih sama, bangun pagi, baca yasin, doa, saya kembali sarapan bubur, dan termasuk yang datang paling awal. Hari ini tes tidak melelahkan seperti hari pertama. Dan saya mengerjakan soal-soal dengan lancar karena beberapa soal hampir sama dengan yang diajarkan di bimbel dan juga dibuku yang saya beli di Jalan Semarang. Nasib memang tidak ada yang bisa menebak, di rungkut industri, motor saya bermasalah, lalu ternyata ban saya bocor. Haah…motor saya dorong lumayan jauh, ketemu tambal ban saya pasrahkan nasib ban saya kepada orang yang menyebut dirinya tukang tambal ban ini. Lapar, letih, pusing, akhirnya ban saya kembali normal. Pulang, makan, sholat, tidur, saya kerjakan secara berurutan. Optimis jadi lebih besar untuk keterima di institut yang fokus di dunia pertanian ini
Hari menjelang ujian sebenarnya semakin dekat. Ujian itu adalah SNMPTN, seleksi masuk perguruan tinggi nasional. Ratusan ribu lulusan SMA yang tidak hanya dari satu angkatan saja bersaing untuk mendapatkan jatah kursi yang telah disediakan. Persaingan pun berbeda di setiap jurusannya. Doa, puasa, sholat sunnah, sedekah, ibadah-ibadah sepertinya tak ada yang luput dari keseharian saya dan kawan-kawan, mesikipun sebenarnya banyak lubang kemaksiatan di sana-sini.
Malam hari menjelang SNMPTN, jantung berdebar-debar, mental mulai bersiap dengan kemungkinan terburuk, puluhan sms salig kirim antara saya dengan teman-teman seperjuangan. Isinya adalah untuk saling mendoakan supaya lulus dalam ujian ini. Esok harinya, bangun pagi-pagi sekali, seperti biasa saya baca yasin sebelum berangkat, tetapi saya mencoba puasa hari ini. Berangkat sendiri pagi-pagi, karena tempat saya ujian berbeda dengan tempat ujian Diky, teman sekosan saya. Semua peralatan sudah saya siapkan malamnya, tapi setiap rencana manusia memang tidak ada yang sempurna, saya lupa bawa penghapus dan peraut pensil. Dan pagi itu toko-toko yang menjual alat-alat tulis banyak yang tutup, dan saya harus mencarinya di tempat yang jauh dari tempat saya ujian. Dapat alat tulis tersebut tidak langsung membuat saya tenang, setelah itu saya balik menuju tempat saya ujian tetapi jalanan sudah sangat padat. Macet.
---------------
Sesungguhnya jjika kita berbuat kebaikan, kita bukan hanya sedang membantu orang atau makhluk lain, namun sesungguhnya kita sedang membantu diri kita sendiri agar menjad lebih bahagia…temukan kebahgiaan dengan banyak memberi.


1 komentar:

donierahman mengatakan...

anak snmptn ipb???

Posting Komentar

prev next