Rabu, 13 Juli 2011

awal novel aids

KARENA TAK MEMILIKI PILIHAN LAIN
Kuliah, sebuah kata yang terkategorikan kata benda ini sanggup membuat jutaan siswa SMA, termasuk gua, seperti berada di jalan yang penuh dengan pilihan. Pilihannya nggak seperti yang di tawarkan multiple choice ujian yang tentu salah satu dari pilihan jawaban adalah benar. Pilihan yang di tawarkan selalu memiliki sisi baik dan buruk secara bersamaan layaknya dua sisi mata uang. Yang membuat anak SMA dilema, bingung, resah atau mungkin ada yang stress adalah karena apa yang dipilih menentukan masa depan. Waktu tidak bisa di ulang dan kesempatan mungkin nggak akan datang ke dua kalinya, salah dalam memilih akan berakibat fatal terhadap hidupnya nanti, apalagi bagi keluarga dengan ekonomi kelas menengah ke bawah. Kuliah bukanlah barang murah yang siapapun bisa memiikinya, jika salah memilih, lalu ingin pindah nantinya, biaya adalah kendala utamanya. Karena itu pertimbangan yang matang sangat diperlukan untuk memilih jurusan yang akan ditempuh selama kuliah.
Kuliah memperlihatkan kepada setiap orang yang ingin menenempuh jenjang pendidikan itu bahwa dunia ini begitu luas dan menawarkan berjuta-juta macam pekerjaan yang bisa didapat setelah nanti menyelesaikan kuliahnya. Wajar bila banyak anak SMA bingung, terlebih lagi kalau nggak memiliki cita-cita atau memiliki cita-cita tapi nggak ada biaya.
Banyak orang tua ingin anaknya kuliah di universitas yang bonafit, glamor dan punya pamor. Nggak hanya universitasnya saja tapi jurusannya juga harus memenuhi ketiga kriteria tesebut. Beberapa orang tua bahkan rela mengeluarkan sejumlah uang yang nggak sedikit untuk bisa membuat anaknya kuliah di tempat yang mereka inginkan. Dalam beberapa kasus yang gua tahu, ada juga orang tua yang memaksa anaknya untuk kuliah di tempat dan jurusan yang mereka inginkan tanpa peduli keinginan si anak yang ingin kuliah di tempat dan jurusan lain, dan beberapa orang tua tidak peduli dengan kemampuan dan kesanggupan si anak untuk kuliah di tempat dan jurusan yang mereka pilihkan. Tapi kasus seperti itu hanya sedikit, kebanyakan orang tua penuh pertimbangan bijak dan mendengarkan keinginan anak, dalam memilih universitas dan jurusan. Orang tua hanya sekedar memberi masukan, mulai dari sistem perkuliahan, mata kuliah yang akan dipelajari, sampai mudah tidaknya dalam mendapatkan pekerjaan. Dan keputusan terakhirnya berada di tangan anak.
Bagi anak SMA yang akan atau baru lulus adalah masa yang paling membingungkan dan masa yang sibuk. Mereka, termasuk juga gua, sedang sibuk-sibuknya mencari tempat kuliah dan jurusan yang tepat, pastinya orang tua punya harapan agar bisa diterima di Perguruan Tinggi Negeri yang bonafit, glamour dan punya pamor. Sebagai calon mahasiswa yang belum mengerti secara jelas dunia yang akan dimasuki, informasi-informasi tentang kampus dan jurusan, gua cari sebanyak-banyaknya, mulai dari tanya guru, orang tua, saudara, kakak kelas, teman sampai browsing di internet. Setelah dapat informasi lengkap dari yang gua butuhkan, gua mulai merancang strategi untuk bisa menembus Universitas yang menjadi tujuan gua. Gua mulai meranking Universitas yang masuk ke dalam list gua, ikut bimbel, gua juga ngikutin omongan guru gua buat perbaiki ibadah , gua tambal shalat gua yang selama ini bolong-bolong, gua bangun malam-malam walaupun ngantuknya minta ampun buat shalat tahajud sampai gua terbiasa nggak makan siang karena gua juga berpuasa senin kamis. Saran dari orang-orang yang gua anggap bisa membuat gua diterima di kampus yang gua tuju, gua ikuti semuanya.
Kuliah itu harus sesuai dengan hati, begitu kata kakak kelas gua. Gua setuju dengan apa yang dikatakan kakak kelas gua, karena yang gua lihat, banyak dari kakak kelas gua yang udah enak-enak kuliah di kampus yang besar dan ternama tapi ia malah pindah ke kampus yang lebih kecil, ada juga yang pindah kampus nggak hanya sekali, ada yang bisa pindah dua sampai tiga kali baru ia nyaman kuliah. Ada yang bilang tempatnya nggak cocok, jurusannya nggak cocok, teman-temannya nggak asyik, nggak bisa mengikuti materi kuliahnya, ada juga yang bilang karena ada masalah dengan dosen, itu beberapa alasan yang gua denger dari mereka, banyaklah alasan dari mereka, ada yang masuk akal ada juga yang sama sekali nggak logis, misalnya karena di kampus itu nggak ada cewek yang mau sama ia.
Bagi setiap orang kuliah itu memiliki arti yang personality. Ada yang mengatakan kalau kuliah itu waktunya menikmati kebebasan dari orangtua, tetapi masih dapat kiriman uang dari orang tua. Ada yang bilang kuliah itu bisa buat frustasi, berbagai masalah yang waktu SMA nggak pernah dihadapi sekarang menumpuk didepan mata untuk diselesaikan satu-satu dan sialnya nggak bisa dihindari. Kalau kata teman gua yang pernah jadi santri bilang kuliah itu waktunya untuk mencari jati diri, tempatnya Tuhan menguji kita untuk menjadi seorang khalifah dimuka bumi, dengan kebebasan yang diberikan, apakah akan kita manfaatkan ataukah akan kita sia-siakan. Tante gua yang sekarang jadi wanita karir bilang kalau kuliah tempatnya kita membangun karakter agar nanti kita mudah mendapatkan pekerjaan. Ada juga teman gua yang bilang kalau ia kuliah itu sebagai wujud pengabiannya kepada orangtua. Arti kuliah buat teman gua, yang katanya bercita-cita jadi politikus, kuliah itu tempat kita melatih diri untuk menjadi kader yang bersih dan jujur. Dan kuliah itu tempat kita mencari jodoh begitu kata om gua yang dikenal sebagai playboy dizamannya. Yah…banyak sekali arti kuliah yang gua dapetin dari perbincangan gua dengan orang-orang disekitar gua. Terlepas dari itu semua, gua punya arti sendiri tentang kuliah, kuliah itu jembatan tercepat untuk meraih impian gua, yang didalamnya nanti akan gua pelajari ilmu-ilmu yang nggak hanya diajarkan di saat kuliah saja tetapi akan gua dapatkan juga ilmu kehidupan untuk membangun karakter diri gua. Jadi menurut gua kuliah itu nggak boleh jadi sia-sia, karena apapun yang gua dapatkan saat kuliah nanti akan menentukan pada sukses tidaknya gua dimasa depan.
Beberapa informasi yang gua dapatkan memberikan penjelasan dalam memilih jurusan. Penjelasannya kurang lebih seperti ini, sebelum kuliah nanti selain memilih kampus calon mahasiswa diharuskan memilih jurusan, dalam setiap jurusan memiliki sifat pembelajaran yang berbeda-beda, jurusan yang memiliki sifat serupa akan digabung dalam satu fakultas, akademi, sekolah tinggi dan lain sebagainya. Biasanya memilih jurusan jauh lebih susah daripada memilih kampus. Memilih jurusan bukanlah hal yang mudah karena harus mempertimbangkan banyak faktor. Dalam mempertimbangkan banyak faktor terkadang ada dilema dalam perasaan, karena seringkali beberapa faktor saling berlawanan. Calon mahasiswa juga tidak boleh tergesa-gesa dalam memilih jurusan tanpa mempertimbangkan berbagai aspek karena hal ini akan berakibat fatal mulai dari kesadaran yang terlambat bahwa jurusan yang iambil ternyata tidak sesuai dengan kepribaian sampai dengan drop out atau dikeluarkannya mahasiswa karena dinyatakan tidak mampu mengikuti pendidikan yang diikutinya, seperti yang telah terjadi pada beberapa kasus dibalik kepindahan beberapa kakak kelas gua.
Untuk memilih jurusan harus menyesuaikan cita-cita, minat dan bakat. Bagi yang sudah memiliki cita-cita tertentu mungkin akan lebih mudah tetapi harus dicocokkan juga dengan minat dan bakat. Bakat adalah kemampuan yang dimiliki dan dapat dikembangkan. Bakat biasanya dapat dilihat sejak kecil, tapi terkadang ada yang baru terlihat ketika remaja. Bila ada sinkronisasi antara cita-cita, minat, dan bakat berarti faktor yang pertama sudah bisa iatasi. Selain pencocokan cita-cita, minat, bakat, faktor lokasi dan biaya juga harus dipertimbangkan, biaya yang harus ditanggung nanti baik biaya kuliah, biaya hidup, lokasi tempat tinggal, dll, tidak akan menjadi masalah bagi orang yang berasal dari ekonomi atas, tapi bagi masyarakat menengah ke bawah semua hal itu pasti harus sangat diperhitungkan karena berhubungan dengan mampu tidaknya untuk memenuhi biaya selama kuliah sampai lulus. Selanjutnya, daya tampung dan peluang diterima juga harus dipertimbangkan karena faktor yang satu ini disesuaikan dengan kemampuan dan kesiapan calon mahasiswa untuk mengikuti tes masuk. Calon mahasiswa seringkali membebani diri dengan memilih jurusan bergengsi, tanpa melihat kemampuannya sanggup atau tidak untuk menembus jurusan yang ia pilih. Faktor yang tak kalah pentingnya adalah masa depan pekerjaan, apakah jurusan tersebut menjamin atau tidak untuk mendapatkan kerja, walaupun pribadi individulah nanti yang paling utama dalam memudahkan mendapatkan kerja.
Beruntung bagi gua, gua sudah memiliki cita-cita yang selaras dengan minat dan bakat gua, cita-cita gua sebenarnya klise dan telah jadi cita-cita hampir sebagian besar anak kecil dinegeri ini yang lahir dengan bantuan ilmu kedokteran modern ataupun kedokteran tradisional alias dukun beranak. Tentunya gua ingin jadi dokter, cita-cita gua ini jadi the one and only bagi hidup gua yang dulu ataupun sekarang.
-o-
Bisa kuliah ditempat yang memang telah menjadi tujuan kita adalah anugerah yang sangat menyenangkan. Sepertinya augerah itu bakal sulit gua dapatkan saat ini. Ayah gua, seorang pejabat tinggi di Bank Negara, menginginkan gua masuk jurusan ekonomi untuk meneruskan tradisi di keluarga besar yang sebagian besar adalah lulusan yang nggak jauh-jauh dari hitung menghitung keuangan.
Ayah gua bilang nanti kalau gua kuliah di ekonomi gua mudah dapat kerja karena nanti ayah bisa bantu untuk mendapatkan kerja. Gua jelaskan kalau gua kuliah nggak cuma buat dapat kerja, lagian juga gua kurang suka dengan ekonomi, bagi gua pelajaran satu ini termasuk yang rumit buat gua cerna. Gua nggak ngerti istilah-istilah yang sering gua denger atau baca, gua nggak bisa memahami kurva atau grafik yang dipelajari didalamnya, gua nggak ngerti banyak hal didalam ilmu ekonomi, dan satu hal yang buat gua nggak mau masuk ekonomi karena gua pernah punya masalah dengan guru ekonomi gua waktu masih kelas satu dulu. Untuk yang satu ini nanti gua cerita dibelakang. Setiap gua jelasin itu semua, tanpa peduli perasaan anaknya dan dengan santainya ayah bilang kalau ayah itu paling mengerti apa yang terbaik buat anaknya dan ayah juga bilang kuliahnya berat dan lama lagi. Terbaik? Yang terbaik buat gua saat ini adalah restunya untuk masuk ke kedokteran dan masalah lama dan berat gua yakin gua sanggup buat menjalani kehidupan kuliah nanti, karena ini berhubungan dengan cita-cita. Sebenarnya mahal juga bukan alasan berarti, ayah gua pasti sanggup bayar biaya kuliah, dengan sekali jumlah bayarannya aja mungkin sudah cukup buat biaya-biaya gua masuk kuliah, lagian juga ada jalur untuk masuk kedokteran tanpa harus membayar mahal.
Alasan lain yang gua miliki adalah nanti gua ingin kerja yang mengabdi kepada masyarakat. Ayah juga punya bantahan lain, kata ayah, ekonomi itu juga suatu bentuk pangabian kepada masyarakat, apalagi kalau menjadi ekonom sekaliber ayah, tugasnya berat sekali, ayah harus mengatur, menata dan menjaga stabilitas ekonomi bangsa, tentunya tidak bisa pungkiri lagi kalau ekonom adalah pengabian juga.
“Tapi yah, aku ingin bersentuhan langsung dengan masyarakat, aku ingin mengabdi dan berbagi dengan mereka.” gua coba untuk mencari celah agar di beri kesempatan, setidaknya untuk ikut tes dengan memilih jurusan kedokteran.
“Apa ayah tidak peduli dan tidak berbagi dengan mereka? Meskipun tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat tapi banyak hal yang ayah korbankan untuk menjaga agar ekonomi kita ini maju. Pokoknya kamu harus masuk jurusan ekonomi, lihat semua Om dan Tantemu, mereka semua lulusan ekonomi seperti ayah, dan lihat juga, mereka semua sekarang sukses-sukses kan?” Ayah tetap bersikeras untuk menentukan masa depanku.
“Yah…sukses kan nggak hanya diukur dari materi yah.”
“Lalu apa? Kita hidup itu butuh uang, apa-apa sekarang bayar, dimana-mana orang bekerja untuk uang, bisa apa sekarang tanpa uang?”
“Dokter kan banyak yang kaya juga yah….”
“Tapi kuliahnya lama, dan kamu harus ambil spesialis dulu, itu juga mahal, lagian apa salahnya kamu ikutin kata ayah? Sudahlah pokoknya ayah nggak mau tahu, kamu harus masuk ekonomi.”
Gua akhirnya menyerah untuk mendebatkan lebih lanjut tentang hal ini. Karena gua tahu perdebatan ini tetap saja tidak akan memberikan celah buat gua kuliah di kedokteran. Entahlah…ayah gua yang sekarang sudah berubah dari sosok ayah yang gua kenal selama ini. Ayah gua berubah sejak mendapatkan jabatan menjadi salah satu pimpinan pusat Bank Indonesia. Sejak saat itu ayah gua menjadi seorang yang sama sekali nggak gua kenal, sok paling tahu semuanya, mudah naik darah, dan seringkali ayah dan ibu bertengkar hebat hanya karena masalah sepele. Gua sendiri heran, seharusnya dengan kesuksesan yang ayah dapatkan, kehidupan kami seharusnya bertambah baik dari kehidupan yang dulu. Tetapi kehidupan kami dari luarnya saja tampak semakin baik, namun hubungan antar individu didalamnya menjadi semakin buruk.
Awalnya, keluarga kami baik-baik saja dengan kehidupan sederhananya. Kehidupan itu telah berlalu bertahun-tahun yang lalu dan kelihatannya ayah lupa atau lebih tepatnya aku mengira ayah sengaja melupakan masa lalu itu. Memang kita tidak selamanya hidup dalam masa lalu, tapi bukankah masa lalu patut untuk sesekali diingat agar tidak melupakan dari mana kita berasal. Ayah yang dulu hangat sekarang menjadi sedingin es, bahkan global warming yang telah sukses mencairkan es di kutub sebesar salah satu negara bagian di Amerika Serikat pun tidak bisa membuat ayah mencair sedikitpun. Dulu kami berempat, ayah, ibu, gua dan adik gua, Puri, hidup dilingkungan yang sederhana. Kami tinggal dirumah peninggalan orangta ayah di Semarang. Rumah itu sangat asri dengan pepohonan menghiasi halaman depan dan belakang, udara disana juga begitu sejuk. Biasanya iakhir pekan, selepas subuh kami berempat berjalan-jalan disekeliling kampung. Pemandangan yang hijau sejauh mata memandang menjadi tujuan jalan-jalan kami. Sesekali kami berinteraksi dengan tetangga di kampung yang sedang berjalan menuju sawah, kebun ataupun pasar. Dan akhir tujuan dari jalan-jalan kami adalah sarapan di pasar tradisional, langganan kami, Mak Ijah, penjual nasi pecel asli madiun yang sampai sekarang belum pernah gua temuin tandingannya.
Mak Ijah berjualan di emperan depan pasar selalu sibuk melayani para pelanggannya, yang membuat dagangannya laris bukan hanya karena rasanya yang nikmat, harga yang dipatok Mak Ijah juga sesuai dengan isi kantong pelanggannya yang sebagian besar adalah penjual dan kuli angkut di pasar tersebut. Mak Ijah punya kebiasaan latah yang seringkali menjadi hiburan bagi pelanggannya. Ia tidak menyediakan meja ataupun kursi untuk makan, pelanggan diharuskan duduk lesehan kalau ingin makan di tempat. Suasana lesehan pun menjadai nikmat saat interaksi antar pelanggan berlangsung, setiap orang bisa mengobrolkan apapun dan dengan siapapun tanpa melihat strata sosial, seringkali terlihat tidak adanya perbedaan mencolok antara ekonomi kelas atas dengan ekonomi menengah ke bawah kecuali pakaian yang dipakai. Hal inilah mungkin yang menjadi pelanggan ketagihan untuk datang lagi ke tempat Mak Ijah, selain untuk makan, mereka bisa bersilaturahmi, tukar informasi, tukar pendapat, terkadang disini juga menjadi jembatan untuk saling membantu, seperti kemarin, Mas Tono, seorang kuli angkut yang memiliki anak putus sekolah diberi bantuan oleh seorang pedagang cina kaya agar anaknya bisa sekolah lagi. Ikatan yang terbangun antara pelanggan sudah seperti keluarga, dan ini semua berkat jasa dari Mak Ijah. Ibarat sebuah keluarga, Mak Ijah adalah seorang Ibu yang begitu hangat dan para pelanggan adalah anak-anaknya, dan sang Ibu berhasil membuat ikatan keluarga tanpa ada perbedaan.
Sepulang dari pasar, ibu biasanya mengajak ayah pergi ke kota atau tempat-tempat wisata atau hanya sekedar berkunjung kerumah kerabat. Gua dan Puri sangat senang kalau kami pergi ke kota karena biasanya ayah mampir di toko mainan, gua dan Puri di beri kesempatan untuk memilih mainan atau kaset video game terbaru.
Masa-masa seperti itu berakhir saat gua lulus SD, ayah dipindah tugaskan ke Bogor. Sebenarnya gua keberatan dengan keputusan tersebut, tapi setelah bujuk rayu ayah dan ibu akhirnya gua tidak bisa menolak lagi. Kepindahan ayah tidak hanya berdampak pada gua saja tetapi juga pada karir Ibu. Sejak lulus kuliah dari jurusan Marketing, ibu bekerja di kantor perusahaan waralaba yang baru beberapa tahun berdiri hingga sekarang perusahaan tersebut sudah menjadi perusahaan besar. Dengan terpaksa ibu harus mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut. Sementara Puri yang saat itu masih duduk di kelas 2 SD tidak memiliki pendapat apapun karena tentu ia belum mengerti apa-apa.
Kepindahan gua diiringi isak tangis teman-teman sepermainan gua yang sudah setia menemani gua sejak gua baru bisa jalan sampai sekarang. Banyak tetangga yang juga bersedih dengan kepindahan kami. Kesedihan itu wajar, karena memang selama hidup di sana ayah dan ibu gua berinteraksi dengan baik dengan para tetangga. Orang tua gua senang berbagi dengan para tetangga, berbagi dalam banyak hal, dan setiap tahu tetangganya sedang ada masalah, terutama yang berkaitan dengan ekonomi, ayah dan ibu gua yang memiliki rejeki cukup selalu berusaha membantu.
Memang di kampung gua dulu tradisi tolong menolong dan gotong royong masih kental sekali. Saat mau berangkat, beberapa tetangga membantu mengepak dan mengangkat barang ke dalam truk. Belakangan gua tahu dari ibu, ternyata truk pengantar barang itu dibiayai oleh tetangga-tetangga gua yang rela patungan.
-0-
Bogor, kota hujan begitu biasanya masyarakat menyebut kota ini. Yah…memang di Bogor hampir setiap hari turun hujan dan lama berhentinya. Hidup di kota ini berarti harus mematuhi peraturan pertamanya dan terpenting, yaitu memiliki payung. Hidup di Bogor tanpa mempunyai payung sama saja dengan menyelam dengan kedalaman 100meter tanpa tabung oksigen, atau sama saja dengan ke kutub utara hanya pakai kaos singlet.
Bulan-bulan pertama kami tinggal di sini menjadi pengalaman yang cukup menyenangkan bagi gua dan Puri. Bukan hanya karena rumah yang kami tinggali sekarang jauh lebih besar dan fasilitasnya lebih lengkap daripada rumah yang di Semarang, tetapi juga karena masyarakat dan budayanya. Masyarakat yang berdomisili di sini mayoritas adalah orang Sunda, yang setiap kita tanya di mana letak masjid Al-Fattah maka kita tidak akan pernah mendapatkan jawabannya, tapi mereka malah akan menunjukkan kepada kita letak masjid Al-Pattah. Di sela-sela kalimat sering disisipi dengan kata “mah” atau “teh”, yang menjadi kesukaan gua dan Puri adalah logat orang sunda kalau ngobrol selalu menggunakan nada, jadi seperti melantunkan lagu dengan aliran pop slow atau mungkin juga bisa gua kategorikan dalam musik jazz tradisional.
Awalnya keluarga kami masih harmonis dan tidak ada bedanya seperti saat kami dulu masih tinggal di Semarang kecuali ibu yang memang memutuskan untuk tidak bekerja lagi. Ibu tidak bekerja lagi selain karena permintaan ayah, juga karena ibu tidak mau sakitnya kambuh lagi. Ibu gua punya sakit maag akut, yang sering kambuh kalau ibu bekerja keras, karena itu ayah meminta ibu untuk istirahat saja di rumah, juga dengan terapi sesekali ketika ibu mau. Ayah masih seperti ayah yang dulu, pulang setiap hari dan jika pulangnya telat, ayah akan menghubungi rumah.
Sekali lagi ayah gua naik jabatan saat gua lulus SMP, kali ini jabatan yang diberikan kepada ayah jauh dari perkiraan banyak orang. Jabatan ayah bukan hanya sekedar naik tapi meroket, semula ayah hanya sekretaris cabang Bank Negara di Bogor sekarang ia menjadi salah satu pimpinan pusat dari Bank Negara. Berita ini menjadi kabar yang sangat menggembirakan bagi kami sekeluarga, dan berita ini juga memberikan efek bahagia pada keluarga besar kami. Namun kegembiraan ini hanya berlangsung beberapa bulan saja bagi Ibu, gua dan Puri. Selanjutnya ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya dan hanya ada sedikit sekali punya waktu untuk dibagi dengan kami atau setidaknya mengobrol dengan kami, bahkan ayah gua tidak tahu Puri sekolah di SMP mana, beruntung Puri tidak tahu, jika ia tahu tentu saja membuat Puri sangat sedih dan kecewa karena ia berhasil masuk sekolah unggulan tetapi tidak mendapatkan apresiasi dari ayah yang begitu ia cintai.
Perubahan ayah tidak hanya sampai di situ saja, perasaan ayah menjadi sangat sensitif, bukan mudah tersentuh dan terharu, tapi mudah sekali marah. Pernah seminggu ayah tidak pulang dan tidak memberi kabar, ketika ibu menanyakan kepada ayah, bukan jawaban yang ia berikan tetapi luapan amarah bahkan cacian pun meluncur dari mulut ayah. Mulut yang selama ini berkata bijak dan penuh kasih sayang kepada keluarganya tanpa pernah sekalipun memaki. Gua mendengar pertengkaran itu dan berusaha menengahi, meskipun kelihatannya tidak sopan, tapi gua sudah nggak kuat dengan sikap ayah kepada ibu. Bukan meredakan masalah, emosi gua yang terpancing oleh amarah ayah semakin memperkeruh suasana dan semakin membuat emosi ayah meluap-luap seperti air bah, sebuah tamparan hampir saja memberi bekas gambar di pipi gua. Bodohnya, gua malah menantang ayah untuk melepaskan pukulannya, bukan menantang sebenarnya, gua hanya ingin memastikan apakah masih ada kasih sayang di hati ayah gua. Ayah meninggalkan kami berdua sambil bergumam tak jelas tanpa peduli air mata istrinya mengalir deras. Gua peluk erat ibu dengan harapan setidaknya bisa membendung air matanya. Air mata ibu belum juga reda, ayah sudah keluar dengan setelan pakaian yang berbeda, di tangan kanannya ia sedang mengecek beberapa pesan di handphone dan tangan kirinya menarik sebuah koper. Kelihatannya ayah sudah kehilangan tanggung jawab, masalah ini tidak diselesaikannya dahulu, tapi ia malah lebih memilih untuk pergi entah kemana. Ibu melepas pelukanku, berjalan menghampiri ayah, mencoba menanyai kemana dan untuk apa ayah pergi lagi dengan nada yang begitu halus. Namun seperti saat ayah datang, yang ibu dapatkan adalah amarah dari ayah. Gua meneriaki ayah untuk bersikap lebih baik kepada ibu. Matanya menatap tajam mata gua, dan benar seperti omongan gua, di mata itu gua nggak mengenali sama sekali siapa orang yang sedang beradu mata dengan gua ini. Ayah balik meneriaki gua, ia bilang kami tidak mengerti apa-apa, dan tidak mengerti beratnya pekerjaan ayah. Seharusnya kalau kami tidak mengerti, seharusnya ayah bercerita, kalau berat, bukankah keluarga adalah tempat berbagi beban antar anggotanya. Bentakan-bentakan hingga teriakan tidak juga reda dari rumah ini sore itu, ayah pergi begitu saja seperti seorang pengecut, ia pergi meninggalkan rumah, entah kemana. Beruntung hari ini Puri masih ada di sekolah mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, jika ia di rumah maka nggak bisa gua bayangkan bagaimana perasaan Puri saat ini. Bagi gua, cukup gua dan ibu yang mendapatkan efek dari metamorphosis ayah gua. Karena gua tahu, meskipun Puri itu terlihat sebagai pribadi yang tangguh, tetap saja memiliki sisi-sisi yang rapuh, dan sebagian sisi rapuh itu berkaitan dengan keluarga kami. Gua nggak mau sisi rapuh ini sampai tersentuh.
-0-
Hari ini hari ulang tahun ibu, tradisi dikeluarga kami, setiap ada anggota keluarga yang berulang tahun, kami selalu membuat pesta kecil-kecilan berempat. Namun tahun-tahun terakhir ini kami terpaksa menikmati kebahagiaan pesta ulang tahun hanya bertiga saja. Terasa berbeda dan ada yang kurang memang, tapi kami tak mau merusak hari bahagia yang hanya datang setahun sekali.
Kali ini bukan hanya ketidak hadiran ayah yang mengurangi kebahagiaan suasana pesta, tetapi sebuah berita miring yang entah darimana datangnya. Oh…ya, berita itu datangnya tadi pagi, salah satu handphone ayah tertinggal di meja kerjanya, handphone bordering, ada panggilan dari kontak yang diberi nama Yani. Gua bukannya nggak berani, tapi gua pikir nggak sopan untuk menerima panggilan dari teman ayah, siapa tahu itu rekan kerja atau orang penting. Gua berikan handphonenya kepada ibu yang saat itu sedang asyik membaca buku di beranda rumah. Beranda rumah menjadi tempat favorit ibu gua, tempatnya memang nyaman, dihiasi bunga anggrek dan bunga lainnya yang gua nggak tahu namanya, kolam ikan koi dengan alat filter ikan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi air terjun buatan dan di tengahnya terdapat air mancur menjadi obat mujarab untuk merefresh pikiran yang penat. Karena takut mengganggu dan nggak mau nguping, gua masuk ke dalam untuk melanjutkan acara makan siang gua yang sempet tertunda karena bunyi hape itu. Acara makan gua kembali tertunda saat gua melihat ibu masuk ke dalam dengan wajah pucat dan air mata meleleh. Tempat gua makan sekarang, berada di kanan ruang tamu, hanya dibatasi oleh sekat anyaman dari rotan. Ada motif lubang-lubang yang cukup besar menghiasi sekat, dan bagi yang makan disini lubang itu dapat juga berfungsi sebagai alat pengintaian, begitu gua dan Puri menyebutnya, sehingga siapapun yang keluar masuk rumah ini dapat terlihat jelas dari sini.
Ibu berjalan menuju lantai dengan sesekali mengusap air matanya dan mengucap istighfar. Acara makan gua tinggal, gua susul ibu dan menanyakan kenapa ibu menangis. Ibu sebenarnya tidak mau mengatakannya kepadaku, tapi setelah bujuk dan rayuku akhirnya ibu menceritakan semuanya. Apa yang gua dengar dari ibu tidak bisa gua percaya dengan nalar. Ayah gua selingkuh! Ibu tidak bisa memastikan sepenuhnya kabar itu, tapi yang membuat ibu sedih adalah kenapa ia harus tahu dari orang lain tentang kabar itu, dan yang lebih menyedihkannya orang lain yang menelepon tadilah yang mengaku sebagai kekasih ayah.
Air mata ibu tak berhenti mengalir, sesekali ia mengucap istighfar. Gua bingung mau berbicara apa, karena saat ini gua juga shock, meskipun gua sadar perasaan ibu pasti jauh lebih hancur dari perasaan gua saat ini. Ibu menapaki tangga rumah menuju kamarnya di lantai atas, langkah ibu terlihat berat padahal ia sudah terbiasa naik turun tangga sebelumnya. Beban yang sedang dipikul oleh ibu, kesedihan yang sedang mewarnai hari-hari ibu, gua dan Puri rasakan juga saat ini.
Sekitar pukul tiga sore, terdengar mobil ayah memasuki halaman. Seperti sedang menerima rangsang dari ingatan gua tadi siang, emosi gua kembali muncul. Gua lari menuju ruang tamu untuk menyambut ayah dengan hati yang panas, tapi kaki gua berhenti ketika gua melihat ibu mencegatku, ikatan antara gua, Puri dan ibu memang sangat kental, sering tanpa bertatap muka ataupun bicara kami seperti sudah tahu apa yang ada di pikiran masing-masing.
”Kembali ke kamar….” Ibu memerintahkanku untuk kembali, dengan pipi yang sudah basah dengan air mata. Belum pernah selama ini wajah ibu terlihat begitu sedih dan nelangsa. Gua terhipnotis, nggak bisa mengatakan apapun, emosi gua yang pasti akan meledak begitu bertatapan dengan ayah, seketika mendingin, gua menuruti perintah ibu.
Perintah ibu hanya sebatas gua harus kembali ke kamar, begitu gua mengartikannya. Di belakang pintu gua berusaha mencuri dengar suara sekecil apapun yang keluar dari orang tua gua. Suara yang sangat ingin gue curi dengar sama sekali nggak gua dengar, penasaran, gua buka sedikit pintu kamar dan mencari tahu apa yang sedang terjadi. Tepat saat pintu kamar terbuka, suara khas pertengkaran terdengar sangat keras sekali, pembantu gua sampai berlari menuju sumber suara karena takut terjadi apa-apa. Setelah ia tahu suara itu berasal dari pertengkaran majikannya, ia kembali ke belakang melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
Sudah 15 menit berlalu sejak bentakan keras ayah tadi, lebih dari lima barang pecah belah yang ada di ruang tamu hancur berserakan dilantai, ruang tamu terlihat seperti kapal pecah yang diserang badai. Badai amarah ayah, dan pecahnya kesabaran ibu. Wajar, sebagai istri, takdirnya adalah disayangi seorang suami. Mendapatkan nafkah tak hanya materi namun juga dipenuhi kebutuhan batinnya. Perhatian dari ayah pun entah kapan terakhir kali ibu rasakan. Rumah tangga ini telah retak di sana-sini karena nahkodanya membiarkan perahunya berlayar hanya bersama awak kapal yang masih ingusan dan masih sangat bergantung kepadanya. Beruntung retaknya rumah tangga ini tidak sampai diketahui keluarga besar kami, setidaknya sampai saat ini. Itu semua karena ibu selalu menutupi masalah di dalam rumah ini jangan sampai terbawa keluar, dan resikonya, hanya ia sendiri yang menanggung bebannya. Selama ini ibu lebih dari kata cukup untuk mau bersabar dengan semua perilaku ayah. Ibu masih saja sering gua lihat menunggu ayah hingga larut malam meskipun seharian tak sekalipun memberi kabar, ia berharap hari itu ayah pulang. Ibu selalu saja bisa memaafkan apapun yang dilakukan ayah, dan tetap memberi senyum kepada ayah meskipun tak pernah mendapatkan balasan. Ibu jugalah yang selalu berhasil membuat gua tetap nyaman tinggal di rumah. Akhir-akhir ini, ibu juga selalu berhasil menggantikan peran ayah buat gua dan Puri, bukan berarti ayah sudah tidak berarti lagi, tapi sosok itu entah kemana rimbanya saat ini, dan ibu mengerti kami kehilangan sosok tersebut. Mungkin, ibu nggak mau psikologis anaknya terganggu dimasa-masa remaja yang merupakan masa pencarian jati diri. Di balik beban berat yang ia tanggung, ibu tak pernah telat memberi kami semangat ketika ia tahu kami sedang down, kami bertiga saling mendukung dan saling berbagi, tetapi tidak semua hal ibu bagi dengan kami, ibu tidak pernah bercerita sedikitpun tentang kesedihan yang dia hadapi.
“Plaaak….”sebuah tamparan keras ayah mengenai pipi ibu. Sekali aku biarkan. “Plaaak….”kembali tamparan lainnya menyusul tak lama kemudian. Aku tetap diam tak beranjak. Dan, “Plaaak….”, cukup!
“Cukup Ayah!” aku berteriak sambil berlari menghambur ke ibu.
“Nggak usah ikut campur urusan orangtua! Kamu itu nggak ngerti apa-apa!” nada bicara ayah lebih tinggi dan lebih keras dari teriakanku.
“Ya…aku memang nggak ngerti apa-apa, yang aku ngerti ayah sudah berubah!”pernyataan itu meluncur begitu saja, tapi aku lega, saat itu hatiku seperti gunung yang baru meletus, apa yang telah lama terpendam, keluar, dan itu hanya awalnya saja.
“Hah…kalian itu sama semua, ngomong gitu semua, tapi nggak ngerti apa-apa tentang ayah, tentang beratnya jadi ayah.”
“Itu karena ayah nggak pernah ngomong sama kami…”yah komunikasi, satu kata itu langka sekali tumbuh dalam hubungan ayah dan anak dalam keluarga gua saat ini.
“Ngomong juga percuma, toh nggak ada yang ngerti tentang pekerjaan ayah, kamu kan maunya jadi dokter, ngerti apa tentang pekerjaan ayah…ibumu juga sama,”ia menunjuk ibu, matanya merah dan melotot, seperti serigala yang akan menerkam mangsanya, “ibumu selalu saja menuntuk banyak hal dari ayah.”
Berengsek! Menuntut? Banyak? Bagian mana dari ibu yang ayah bilang menuntut, toh kalaupun ada itu sudah menjadi fitrah seorang istri yang merasa memiliki suami tapi tidak pernah lagi bertanggung jawab selayaknya seorang suami. Bukankah mereka sepasang kekasih? Sudah seharusnya berbagi kasih sayang dan perhatian, itu yang ibu butuhkan, bukan menuntut, tapi meminta pertanggungjawaban ayah. Dan tidak banyak. Memiliki istri berarti mau untuk memenuhi segala kebutuhan istri, bukan berarti memiliki istri hanya untuk mengurus anak dan rumah sementara ia berkarir dan bersenang-senag diluar tanpa memikirkan perasaan ibu. Kalau ada alat yang bisa mendeteksi luka fisik, mungkin dari luar hati ibu tampak baik-baik saja, tapi bila ada alat yang bisa mendeteksi perasaan seseorang, maka bisa dilihat hati ibu yang begitu luas telah mengalami krisis.
“Setiap orang mempunyai cita-citanya sendiri, dan sebuah kebebasan bagi setiap individu untuk menentukan masa depannya. Dan, apa ayah tidak pernah merasakan kesabaran dari ibu yang begitu tulus setiap hari.”gua berusaha beragumentasi.
“Sabar? Sabar kok setiap hari tanya terus! Radit…dengar ayah! Kita tidak sedang berbicara tentang cita-cita dan kebebasan, tapi ayah sedang bicara tentang takdir! Sudah menjadi takdir keluarga kita untuk bekerja dibidang ini! Lagipula cita-citamu itu paling juga ikut-ikutan teman-temanmu.”setiap kalimatnya begitu keras dan penuh penekanan.
Takdir? Sejak kapan takdir seseorang dimaknai dan ditentukan oleh kehidupan beberapa orang yang memiliki ikatan keluarga. Takdir itu ketentuan Tuhan, Qada’ dan Qadar, nasib memang sudah ditulis oleh Tuhan, tapi kita juga bisa merubah tulisan itu menjadi tulisan yang lain dengan cita-cita, usaha dan doa, tentunya tantangan yang menguji pantas tidaknya kita merubah tulisan tersebut. Bukankah salah satu ayat Tuhan juga berbicara demikian, bahwa takdir seseorang dapat dirubah dan ditentukan oleh dirinya sendiri.
Gua terdiam, bukan karena gua setuju dengan ucapannya, tapi karena gua sudah beribu-ribu kali mendengar teori itu, dan ribuan kali juga argumentasi gua tak pernah sekalipun ia setujui hanya mentok ditelinga yang sudah bebal itu. Gua mengalihkan pandangan gua ke ibu yang menangis disofa, Oh Tuhan, sejak tadi gua nggak menyadarinya, kedua pipi ibu berbekas merah, refleks, gua peluk ibu. Gua merasakan sakit yang dalam dari hati ibu gua saat gua lihat matanya. Sejenak terlintas kata-kata ayah yang sering mengatakan kalau gua nggak mau menuruti keinginannya. Hati gua bertanya, apa hal itu yang membuat ayah begitu emosi akhir-akhir ini? Mungkin! Mungkin karena alasan itulah ayah menjadi semakin emosi, setelah sebelumnya memang sudah menjadi orang yang mudah naik darah. Gua pandang sekali lagi ibu, gua tatap lekat-lekat wajahnya, terlihat sangat sedih dan sangat lelah, seperti bicara kepadaku, “Ibu sudah nggak kuat lagi nak….” Enggak bu, ibu nggak boleh menyerah, ibu pasti kuat, Radit dan Puri selalu ada disamping ibu untuk meringankan beban ibu.
Gua ingin segera mengakhiri pertengkaran ini, gua sudah nggak tahan lagi melihat ibu, setidaknya biar dia bisa “bernafas” sejenak. Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas dibenak gua. Gua ingin menukar cita-cita gua dengan genjatan senjata antara orangtua gua. Ah…tapi gua timbang-timbang lagi pikiran itu. ini cita-cita yang gua bangun sejak kecil, bahkan gua sudah membuat peta rencana yang diajari sepupu gua. Ini juga sebuah harga diri dari prinsip-prinsip gua yang ingin mematahkan teori-teori ayah. Dan sering gua melindungi harga diri cita-cita gua, beradu argumentasi dengan orang-orang yang meragukan cita-cita dan kemampuan gua untuk bisa meraihnya adalah rutinitas gua. Banyak hal yang telah gua lakukan untuk cita-cita gua, berjuang, berkorban, bersabar. Apa harus gua menyerahkan cita-cita ini kepada laki-laki berperangai keras itu? bagi gua, dia nggak pantas merenggut satu hal pun dari cita-cita gua. Tapi mungkin cita-cita gua akan semakin menambah pecahnya rumah tangga ini, mungkin jika gua menyerah dan menuruti ayah maka kedamaian akan hadir kembali dirumah ini. Otak gua berpikir lebih keras dari biasanya mencoba mencari solusi. Teringat kembali biasanya ayah gua berujar kalau cita-cita gua ini cita-cita followers, dan ia juga bilang kalau gua nggak punya pendirian sama sekali. Kali ini, inilah pendirian gua, demi ibu, demi Puri. Gua nggak punya solusi lain, hanya ini, walaupun gua nggak punya pengalaman bernegosiasi tapi gua coba bicara dengannya.
Gua berdiri dan gua tatap kedua mata ayah, “Apa kalau aku mau menuruti ayah, ayah nggak akan lagi menyakiti ibu?”gua mencoba bernegosiasi dengannya.
Ayah terlihat terkejut, raut mukanya berubah, entah itu senang ataukah apa, gua nggak peduli. Dan ia langsung menyepakatinya. Negosiasi selesai, ia meninggalkan kami berdua menuju kamar. Ternyata benar dugaan gua, cita-cita gua yang sebenarnya jadi masalah sampai ibu ditampar tiga kali. Berengsek! Yang menyebabkan pertengkaran dan sampai menyakiti ibu apa masih bisa disebut sebagai cita-cita mulia? Pikiran gua melayang jauh, sebuah kekecewaan dan juga kesedihan, cita-cita yang selalu gua banggakan didepan banyak orang kini telah lenyap. Gua menyesal memilih cita-cita ini, entah apa alasannya yang bisa diterima otak gua adalah penjelasan bahwa selama ini gua salah memilih cita-cita. Gua nggak peduli apa ada yang namanya salah memilih cita-cita, tapi gua benar-benar ingin mengubur dalam-dalam cita-cita gua ini. Ya…mulai saat ini gua nggak mau menyakiti orang lain lagi dengan keras kepalanya gua mempertahankan cita-cita gua.
Pikiran gua kembali ke dunia nyata karena mata gua baru menyadari kalau ternyata sejak awal tadi Puri mendengar dan melihat apa yang terjadi dari balik pintu kamar. Sadar gua melihatnya, pintu kamar ia tutup, sesaat sebelum ditutup gua lihat ia menangis. Sial! Bagian rapuh dari Puri yang selama ini gua jaga akhirnya tersentuh juga, meskipun kami tak akan pernah bisa selamanya berbohong kepadanya. Puri sudah semakin dewasa, tentunya semakin mengerti dengan keadaan keluarganya.
Semuanya pergi ke dunianya masing-masing dengan pikirannya masing-masing. Wajah ibu di pelukan gua tampak menerawang jauh, raganya memang ada dipelukan gua, tapi entah sedang ada dimana jiwanya sekarang. Gua lepas pelukan dan sandarkan ibu di sofa. Gua ambilkan segelas air dari dapur dan mencoba menyadarkannya dengan memberikan minum kepada ibu. Ibu kembali menyandarkan dirinya dipelukan, dia mungkin telah lama merindukan hangat dan tulusnya sebuah pelukan kasih sayang. Lama ia bersandar, sekarang ia tertidur. Gua angkat dan pindahkan ibu ke kamar gua, mungkin karena terlalu lelah setelah bertengkar atau mungkin karena ia sedang menikmati sejenak pelariannya di dunia mimpi dari semua beban yang sedang ia tanggung, ia tidak terbangun sedikitpun ketika gua pindahkan. Sebelum gua keluar kamar, gua lihat lagi wajah ibu, ah…wajahnya sudah mulai kembali terlihat cantik seperti biasanya, mungkin dia sedang bermimpi indah. Tetaplah sabar bu, maaf hari ulang tahun ibu kali ini tidak bisa dirayakan dengan kebahagiaan.
Gua keluar menuju kamar Puri, sebenarnya berniat mengetuk pintu Puri, tapi gua urungkan niat itu. Sebenarnya mau berbicara dengannya, tapi pikir gua sekarang ia sedang emosi, nanti saja ngomong dengan dia. Gua sendiri pergi keluar mencari angin segar.
----
Ibu membangunkanku lebih awal dari biasanya, masih setengah sadar kulihat jam weakerku, sekarang masih pukul setengah tiga, satu jam lebih awal. Pada hari-hari biasa ibu membangunkanku pukul setengah empat, terkadang karena sudah biasa aku bangun sendiri, kebiasaan ini karena sejak kecil aku dibiasakan ibu untuk sholat malam. Hari ini memang hari yang istimewa bagi ibu dan tentunya aku, perjuanganku selama tiga tahun dibangku SMA akan ditentukan hari ini. Lulus, tentu kata itu yang aku dan juga semua siswa di Indonesia ingin dapatkan, perjuanganku dan siswa lainnya untuk mendapatkan satu kata itu sungguh penuh dengan pengorbanan dan perjalanan yang panjang. Saat kelas satu, perjuangan ini masih belum terasa, belajar setiap hari hanya untuk membuktikan aku bisa mendapatkan ranking pertama. Seiring berjalannya waktu, pengertianku tentang belajar mulai dewasa. Aku belajar tidak hanya untuk mendapatkan nila-nilai mutlak yang tertulis rapi diraport. Aku belajar untuk menyerap ilmunya, dan setelah berhasil menyerap sari-sari ilmu aku berusaha untuk menerapkannya dalam kehidupan. Saat ini, bersama sahabat-sahabat tercinta, aku sudah sampai dititik akhir tahap ini, segala usaha dan juga doa juga telah aku lakukan, dan sudah semakin jelas terlihat ujung jalan ini. Dan sungguh saat ini jantungku bedetak begitu cepat.
“Sudah nduk, ayo cuci muka sana sekalian ambil wudlu. Mumpung masih jam segini, kamu punya waktu yang lebih panjang buat merayu Gusti Allah.” Merayu, satu kata itu sahdu kedengarannya setiap kali ibu mengatakannya, ibu selalu mengatakan bahwa kita itu harus merayu Allah untuk meminta sesuatu, meskipun tanpa dirayu pun Allah pasti akan mengabulkan semua permintaan kita, tapi ibu punya persepsi lain, bagi ibu, saat meminta sesuatu kepada seseorang, kita sering merayu atau bernegosiasi terlebih dahulu, apalagi kepada Sang Pencipta, kita seharusnya memilih-milih dulu kata yang baik ketika meminta sesuatu kepada-Nya. Yah…Allah memiliki sifat Maha Tahu, mengetahui apa yang kita sembunyikan dan apa yang kita ucapkan, tapi pasti lebih romantis kalau kata-kata yang kita ucapkan pada suatu komunikasi itu terasa manis, meski rasa itu kadarnya hanya sebatas manusiawi.
Badanku masih berat untuk digerakkan, mataku juga masih sulit untuk sepenuhnya terbuka, masalahnya tadi aku tidur lebih larut dari biasanya, aku tidak bisa tidur memikirkan hari ini. Semangat yang selalu tersimpan rapi dihati mampu mengalahkan hal-hal tersebut. Setelah mampu menggerakkan tubuh, aku sedikit melemaskan badanku, tak sengaja mataku melihat fotoku bersama dengan teman-teman. Waktu terasa begitu cepat berlalu memang, foto itu diambil waktu aku masih kelas satu dulu. Wajah yang tergambar disitu masih lugu dan aura anak-anak masih melekat. Aku pandangi lekat-lekat foto itu, masih segar diingatanku kenangan yang kita ciptakan bersama. Puas memandangi foto dan mengenang kembali masa-masa indah SMA, segera aku ambil wudlu tanpa menunggu ibu mengulangi perintahnya. Wajahku sudah segar, dan sudah siap untuk merayu Allah. Merayu agar aku dan semua teman-temanku diluluskan, merayu agar nilaiku tidak mengecewakan, karena aku sudah berjanji pada ibu untuk memberinya kabar gembira saat pengumuman kelulusan nanti. Ketika berkomunikasi dengan yang dicintai, waktu terasa berlalu begitu cepat. Kali ini pun begitu, tak terasa hampir satu jam aku bermonolog dengan Allah. Sambil menunggu adzan subuh tiba, aku gunakan waktuku untuk mengaji, ibu sering menasehatiku agar waktu tidak terbuang percuma.
-0-
Rina, sahabatku, tadi sms, bilang kalau nanti berangkat ke sekolah bareng teman-teman lainnya. Tapi sudah jam delapan lebih, belum terlihat juga wajah-wajah mereka. Rugi deh tadi mandi pagi-pagi. Sambil menunggu teman-teman, aku mengecek kembali barang-barang bawaanku, baju-baju bekas, dan makanan. Rencananya, usai pengumuman kelulusan nanti kami mau ke panti asuhan dan panti jompo dekat sekolah. Kegiatan ini digagas oleh mantan ketua OSIS angkatan kami, ia ingin kita tidak hanya menikmati kebahagiaan itu sendiri, tapi orang lain juga harus merasakan bahagia kami, dan juga wujud terimakasih kami kepada Yang Maha Pemurah.
“Assalamu’alaikum…”terdengar salam dari depan yang sebelumnya didahului ketukan pintu. Suara itu sudah sangat akrab ditelingaku, suara Rina.
“Wa ‘alaikum salam…”aku menuju pintu depan dan menyimpulkan senyum untuk menyambutnya. “Lama banged sih Rin, tersesat ya tadi?”godaku, wajar aku menggodanya meskipun untuk menuju rumahku harus lewat jalan-jalan kawasan padat penduduk yang seperti abirin ini, tapi Rina sering main ke rumah bahkan biasanya dia sering menginap.
“Ini temen-temen tadi pada bawel semua…ya jadi ajang nunggu deh tadi.” Aku melihat ke halaman, di sana Nia dan Ito sedang mengobrol. “Ayo cepetan berangkat, udah ditunggu anak-anak tuh.”
“Loh, bukannya cuma kita berempat?”
“Yang lain pada nunggu di depan, nggak cukuplah kalo masuk semuanya.” Gang dirumahku memang sempit, satu gang hanya muat untuk lewat maksimal dua motor, sebenarnya ada jalan yang lebar, tapi harus memutar agak jauh dulu dari jalan utama. Aku ambil segera barang-barang bawaanku, sebelum meninggalkan rumah, aku harus memastikan dulu keamanan rumah, itu sudah menjadi rutinitas tugasku karena setiap setengah enam, ibu harus sudah berangkat ke toko untuk berjualan.
Setelah sampai di depan kampung, aku terkejut, ternyata teman-teman yang mau berangkat bareng tidak hanya sepuluh atau belasan anak, tapi anak satu kelas ternyata sudah berkumpul semua, pantas saja tadi aku harus menunggu lama sekali, dan ternyata aku adalah yang terakhir bergabung dengan mereka. Entah bagaimana caranya mereka bisa berkumpul, rumah mereka tidak searah, tidak juga berdekatan, tapi beginilah sebuah persahabatan, inginnya selalu bersama terus.
Pagi itu kami sudah membuat keramaian di jalan, kami konvoi keliling kota dulu sebelum ke sekolah. Lucu, belum dapat surat kelulusan tapi sudah konvoi. Sebenarnya semalam teman-teman sudah saling memberi kabar bahwa semua teman-teman SMA lulus, tapi semalam hpku tidak aktif, baru tadi pagi sekitar pukul lima aku membukanya. Kami konvoi tanpa anarki, menggunakan helm dan tidak melanggar lalu lintas, tapi sukses mencuri perhatian dan amarah para pengguna jalan, karena kami memenuhi jalan dan mengendarai motor pelan-pelan. Sebenarnya aku tidak mau ikut-ikutan tadi, tapi aku sudah termakan hasut teman-teman…he…he…. Lagian, sekali-kali ikut aksi seperti ini memang mengasyikkan, asal tahu batasan saja. Di jalan tak hentinya kami meneriakkan kegembiraan kami, kegembiraan yang tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Lagu-lagu kemenangan kami nyanyikan bersama, indah sekali kebersamaan kali ini, seakan tidak ada lagi beban yang kami tanggung. Kami bukannya tidak peduli dengan pengguna jalan lainnya, lampu merah kami berhenti, malahan ini menjadi kesempatan bagi teman-teman untuk melancarkan aksi-aksi yang cukup mengundang gelak tawa, beberapa teman ada yang membawa sejumlah bunga mawar untuk diberikan pada pengguna jalan atau pejalan kaki disekitar kami. Kami ingin berbagi kebahagiaan hari ini, juga bertujuan untuk meredam amarah dari pengguna jalan yang lain. Saat berhenti karena lampu merah di perempatan yang ramai, seorang temanku yang memang dikenal suka sekali ngocol, turun untuk membantu seorang nenek yang hendak menyeberang jalan. Aku kira ia hanya akan menggandeng tangan nenek untuk menyeberangkannya, ternyata ia menggendong nenek tersebut untuk menyeberang jalan, ia bahkan sempat berhenti ditengah untuk menari-nari dengan nenek yang masih ada digendongannya. Sontak, orang-orang tertawa melihat tingkah konyol temanku itu. Nenek itupun hanya bisa ikut tertawa dengan wajah malu bercampur takut, takut jatuh dari gendongan. Sampai diujung jalan, temanku mendapatkan hadiah berupa jeweran dari nenek tersebut, tapi nenek tersebut hanya bercanda, sebelum pergi ia sempat mencium tangan nenek tersebut dan melambaikan tangan saat meninggalkannya. Ada-ada saja kelakuannya.
Kami sudah dekat dengan sekolah, tapi beberapa polisi memberhentikan kami dan menyuruh menepi. Tas-tas dan jok sepeda kami digeledah, bukan senjata-senjata tajam yang ditemukan, tapi bungkusan yang berisi pakaian dan kotak-kotak yang berisi makanan.
“Kalian nanti langsung mau ke tempat wisata ya?” seorang polisi berpangkat brigadir menginterogasi ketua kelas kami.
“Enggak pak, kami nanti mau ke panti asuhan, ini surat pengantar dari sekolah.”
Polisi itu memeriksa surat pengantar yang diberikan ketua kelas, setelah yakin keaslian surat tersebut, beliau mengijinkan kami untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum kembali ke sekolah, kami memberi polisi tesebut hadiah berupa bunga mawar, dan seorang teman mengusulkan untuk berfoto bareng polisi tersebut, entah apa maksudnya. Untung polisi-polisi tersebut baik, kami diperbolehkan untuk mengambil foto bersama mereka. Aneh memang, tapi masa bodohlah, hal-hal sepele seperti ini yang membuat kebahagiaan kami semakin lengkap.
Halaman sekolah sudah penuh dengan siswa kelas tiga, ternyata surat kelulusan belum juga di bagikan, padahal sekarang sudah pukul sepuluh. Kami semua sudah tidak sabar, beberapa teman meminta agar surat tersebut segera dibagikan. Memang kami semua sudah tahu bahwa semua siswa lulus, tapi tetap ada yang kurang rasanya sebelum melihat dengan mata kepala sendiri berapa nilai ujian yang kami dapat dari usaha kami selama ini. Teman-teman yang laki-laki mulai mencorat-coret baju, beberapa juga mulai menagabadikan momen tersebut. Untuk kelas kami berbeda, kami telah menyerukan aksi damai, begitu kami menyebutnya. Kami tidak mau baju kami dicorat-coret pylox ataupun tanda tangan teman-teman yang lain. Ketua kelas memarahi kami, karena tidak sopan kalau nanti ke panti dengan baju yang corat coret. Ia sangat kami hormati jadi kami menurut saja.
Dua orang guru muda mengeluarkan soundsystem dari ruang peralatan ke depan kantor. Perhatian kami tertuju ke guru-guru tersebut. Teman-teman mulai meninggalkan aktifitasnya masing-masing saat kepala sekolah keluar dari kantornya menuju ke soundsystem. Kami mulai berkerumun di dekat kepala sekolah. Beliau meminta setiap ketua kelas untuk membariskan kelasnya masing-masing.
Barisan sudah rapi, lebih cepat daripada saat upacara biasanya. Kepala sekolah memulai pidatonya dengan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ucapan selamat kepada kami, ucapan itu kami sambut dengan sorak sorai dan tepuk tangan memenuhi udara pagi yang cerah, secerah wajah kami. Beliau menyampaikan maaf mewakili seluruh guru dan karyawan, beliau juga mengatakan bahwa salah kami di masa sekolah telah dimaafkan, manis sekali. Suasana jadi hening, tidak ada yang berani bersuara sekecil apapun, bukan karena takut, tapi menghargai apa yang beliau ucapkan kali ini. Perjuangan kami tidak berhenti di sini saja, ini adalah awal untuk meraih cita-cita yang kami inginkan, begitu beliau menyampaikan. Beliau melanjutkan, setelah ini masa depan bangsa kamilah yang menentukannya. Kalimat-kalimat itu tepat menyentuh hatiku, masa depan bangsa ada di tangan kami, dadaku sesak seperti ada beban yang begitu berat, aku ambil nafas panjang dan mengeluarkannya keras-keras, sambil aku tatap matahari yang mulai terik itu, dan ku katakana dalam hati, seberat apapun yang harus aku tanggung nanti, aku siap, sekeras apapun tantangan dan rintangannya, semangatku siap diadu, sepahit apapun hari-hari setelah hari ini, keyakinanku takkan berubah, mimpiku akan menjadi nyata.
Disela-sela pidatonya yang selalu bisa membuat semangat yang sudah padam membara seketika, beliau mengumumkan bahwa salah satu nilai ujian dari siswa SMA ini masuk ke dalam sepuluh besar nasional. Semua siswa terkejut, banyak telinga yang tidak percaya, tapi setelah kepala sekolah mengulanginya, suara-suara berbisik memenuhi lapangan seperti suara dengungan sekumpulan lebah. Kami semua berusaha menebak siapa yang berhasil mendapatkan prestasi itu, dan setiap anak berharap bahwa yang diumumkan kepala sekolah adalah dia.
“Nike Sabiqa Ilafi…” nama itu disebut, semua mata menoleh kepadaku, aku masih belum sadar kenapa mereka menoleh ke aku, mungkin karena dari tadi aku mengobrol saja.
“Tuh namamu di sebut ka….”Deni memberitahu aku.
Disebut? Kenapa? Sesaat aku masih belum sadar, lalu aku teringat apa yang sedang dibicarakan kepala sekolah tadi. Benarkah itu? Aku yang mendapatannya? Rasanya diriku masih tidak percaya, aku masih terdiam. Rina mendorongku dari belakang dan Deni menarikku untuk segera maju. Langkah kakiku ringan sekali, rasanya aku sedang terbang, tepuk tangan teman-teman terdengar seperti lagu-lagu kemenangan, udara terlihat berwarna-warni, warna-warna cerahlah yang mayoritas sedang bertebaran, tapi, kumis lebat kepala sekolah menyadarkanku dari lamunan sesaatku. Aku berjalan dengan langkah yang lebih mantap, tanganku berayun-ayun gemulai seolah sedang menari, menarikan tarian kemenangan, mataku basah, aku tahan.
Kepala sekolah sekarang sudah ada didepanku, ucapan selamat dan jabat tangan ia berikan kepadaku, sebuah surat kelulusan juga diberikan kepadaku, surat pertama yang diberikan kepada siswa. Senyumku semakin mengembang, kepala sekolah ikut tersenyum, kumis yang biasa terlihat menyeramkan sekarang terlihat manis dan sempurna melekat dibibirnya. Aku membalikkan badan ke arah teman-teman, aku pandangi barisan demi barisan, mataku menyapu senyuman-senyuman dari sahabat-sahabat yang juga ikut merasakan kebahagiaanku. Teriakan mereka menjadi lagu perayaan kemenanganku hari ini. Haru dan bahagia, air mataku tak bisa lagi aku tahan karenanya, aku malu, tapi aku tak peduli lagi dengan malu, air mata ini adalah air mata syukur, air mata kebahagiaan, air mata terima kasih, air mata perjuangan, dan air mata kemenangan.
Di awali dari kelasku, selanjutnya teman-temanku yang lainnya mengikuti meneriakkan namaku. Aku semakin hanyut dalam euforia kemenangan ini, air mataku meleleh membasahi pipi. Tanpa mempedulikan kepala sekolah yang masih berdiri disampingku, aku berlari menghambur menuju teman-teman kelasku. Aku peluk Rina erat-erat, tangisku pun meledak disusul suara-suara bersemangat dari teman-teman menyoraki aku.
Kepala sekolah sekali lagi mengucapkan selamat dan mengatakan surat kelulusan dapat diambil di wali kelas masing-masing. Semuanya kembali bersorak-sorak, aktifias corat-coret kembali dimulai, kepala sekolah sepertinya mengijinkan hal itu, ia membiarkan kami melakukan berbagai macam cara merayakan kemenangan. Ia sepertinya juga bahagia seperti yang kami rasakan, dan juga bangga tentunya, anak didiknya memiliki nilai rata-rata terbaik seprovinsi dan terbaik ketiga nasional. Prestasi yang akan sulit untuk terulang kembali di masa yang akan datang, mungkin begitu pikirnya.
Apa yang kami dapat sekarang bukanlah hal yang didapat dari sebuah keberuntungan belaka. Kami mendapatkannya dengan bekerja ekstra keras setiap hari. Les intensif yang diberikan oleh guru sebenarnya baru dimulai dari pertengan bulan Januari, tapi dengan kesadaran sendiri, kami memintanya lebih awal, sejak semester pertama baru berjalan beberapa minggu, permintaan ini bukan hanya datang dari siswa yang dikenal kutu buku tetapi juga permintaan siswa yang bisanya terkenal sebagai biang onar tanpa ada suatu paksaan. Bulan puasapun bukan berarti aktifitas dikurangi, kami tetap meminta intensif dari guru. Beberapa dari kami juga masih mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah, sebagai tambahan untuk menuju ujian masuk universitas.
Bukan hanya usaha saja yang kami kerjakan, usaha saja tanpa doa bukankah berarti sombong? Dan doa saja tanpa usaha adalah omong kosong. Bagi kami yang muslim, setiap dua minggu sekali kami mengadakan ngaji dan doa bersama. Doa yang diucapkan dengan lebih banyak orang akan lebih mudah untuk dikabulkan. Bagi yang non islam juga mengadakan hal-hal serupa. Masa-masa kelas tiga kali ini seperti masa penyucian diri, begitu kami sering menyebutnya. Ilmu itu suci, dan untuk mendapatkan sari patinyanya maka kita harus bersih dahulu, ilmu itu cahaya dan untuk dapat menyatu dengannya kita harus menjadi terang, ilmu itu api memberi cahaya tanpa pernah membakar bahkan kita merasa hangat dan nyaman bersamanya, ilmu itu bagai air laut, semakin diminum akan semakin haus, ilmu itu serupa wewangian, harumnya ingin selalu dibagi, ilmu itu jembatan satu-satunya untuk mengantarkan kita kepada kesuksesan. Itu kata-kata penyemangat yang dikatakan oleh ketua kelasku, dan berhasil menyihir semua teman yang mendengarkannya.
Ilmu tak akan berkembang tanpa adanya interaksi antara pencari ilmu dengan sumber ilmu, seperti bagaimana lampu itu tak akan menyala tanpa ada energi listrik yang diberikan kepadanya. Interaksi siswa dengan guru pun menjadi semakin intens dari hari ke hari. Jarak hubungan kami dengan guru pun semakin erat, sekarang sudah layaknya keluarga. Pertemuan tidak lagi hanya diisi dengan tanya jawab seputar pelajaran, tapi juga obrolan-obrolan ringan tentang keluarga, cita-cita, bahkan terkadang kami juga curhat tentang cinta kepada guru. Setiap malam minggu kami tidak lagi bingung mau pergi ke mana atau takut kesepian dirumah karena tidak punya acara, sekarang, ada saja yang selalu mengusulkan untuk berkumpul dengan teman-teman dan terkadang kami juga mengundang guru. Biasanya kami menunjuk seorang teman sebagai ketua pelaksananya, dan teman yang ditunjuk harus rela rumahnya menjadi rumah makan dadakan. Biasanya kami memilih yang dari golongan ekonomi kelas atas, karena mereka mau menyumbang makanan secara gratis, tanpa dipungut biaya, ditambah lagi rumah dan halaman yang luas bisa menampung tamu-tamu yang kurang tahu diri itu, termasuk aku.
Waktu mengajarkan perbedaan, waktu juga yang mengajarkan kebersamaan. Kebersamaan bukan berarti sama, kebersamaan adalah menuju satu tujuan bersama-sama tanpa membeda-bedakan gender, warna kulit, agama, ras dan lain sebagainya. Kebersamaan itu berarti merasakan segala sesuatu bersama-sama, merasakan bahagia bersama, merasakan sakit bersama, kebersamaan juga memiliki arti saling tolong untuk meringankan beban, dan bagi kami kebersamaan adalah kasih sayang. Angkatan kami menerapkan kebersamaan lebih dari sekedar teori, kami saling membantu saat yang lain sedang ada masalah, kami saling mengingatkan saat yang lain lupa, kami saling meluruskan saat yang lain salah. Seiring berjalannya waktu kami menjadi saling menyayangi. Angkatan kami menjadi jauh lebih akrab dari beberapa tahun yang lalu, saat kami masih kelas satu.
-0-
Surat kelulusan sudah ada ditangan masing-masing siswa, dan mereka sudah siap untuk konvoi. Sebenarnya tadi kepala sekolah melarang untuk konvoi, tapi dasar anak remaja, larangan itu malah seperti sebuah izin yang diberikan kepadanya. Tidak semua siswa ikut konvoi, termasuk siswa kelasku. Kami berkumpul dihalaman depan kelas untuk berkoordinasi sebelum berangkat ke panti asuhan dan panti jompo. Baju-baju dan berbagai buku bekas namun masih layak pakai dan layak baca kami kumpulkan menjadi satu dan kami masukkan ke dalam kardus. Uang yang sudah kami kumpulkan sejak beberapa bulan yang lalu dihitung kembali oleh bendahara kami yang galak itu. Sebenarnya uang itu mau kami gunakan untuk acara perpisahan kami, tapi banyak anak yang sudah sibuk dengan berbagai macam urusannya masing-masing untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Uangnya mau dikembalikan juga nanti bingung membaginya, karena buku catatan bendahara yang selalu setia menemani untuk meminta uang iuran telah raib. Dasar, galak tapi tledor! Jadi kami memilih untuk membuat acara bakti sosial saja, dan karena di dekat sekolah kami ada panti asuhan dan panti jompo, kami memilih untuk berbagi dengan mereka saja. Juga sebagai wujud terima kasih kami kepada Allah karena telah memberikan kelulusan.
Tujuan pertama kami adalah panti asuhan “Anak Bangsa”. Panti asuhan ini menggunakan sebuah rumah peninggalan Belanda yang sudah sedikit direnovasi pada beberapa bagian, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kesan bangunan lama. Meskipun terlihat kuno, tapi lingkungannya asri, halaman depan yang cukup luas di tanami beberapa pohon cemara dan mangga, di halaman samping adalah tempat anak-anak bermain, sebuah pohon jambu air yang besar terlihat seperti seorang raksasa yang berusaha melindungi sepasang ayunan yang ada di bawahnya. Kota Malang memang terkenal sejuk, tapi di panti ini aku merasakan suasana yang berbeda, aku merasakan suasana yang juga sama seperti suasana hatiku biasanya, suasana yang selalu terasa ada yang kurang.
Ibu Arfi, ketua pengurus panti, adalah yang pertama menyambut kami. Wajah ibu Arfi masih terlihat cantik di usia yang telah di makan keriput, senyumnya yang ramah, tutur katanya yang lembut, hangat dan santun tak menggambarkan betapa lelahnya mengurus banyak anak sekaligus setiap hari.
Setelah dipersilahkan masuk, beberapa teman membawa masuk barang-barang bawaan kami yang lumayan banyak, selain barang yang mau kami sumbang, kami juga membawa beberapa alat music. Kami juga ingin memberikan hiburan kepada anak-anak anti. Saat baru masuk ruang tamu, aku melihat rumah ini sederhana sekali, semuanya terkesa apa adanya, dan hal tersebut berlanjut ke ruangan-ruangan selanjutnya.
Terdengar suara-suara ramai dari arah dalam. Suara itu semakin keras, dan semakin jelas kalau anak-anak sedang berkumpul. Kami berhenti di sebuah ruangan yang cukup besar dengan empat meja makan besar tertata rapi tanpa hiasan, di atas setiap meja ada sebuah kue tart yang berukuran cukup besar, kue itu pemberian Rina. Tadi pagi sebelum kami ke sini, sopirnya diminta untuk mengantarkan kue-kue itu. Dinding ruangan dipenuhi gambar anak-anak, beberapa tulisan-tulisan yang di tempel dengan kertas dengan cukup rapi, aku menebak itu adalah kumpulan puisi dan beberapa cerpen karya anak-anak panti, dan bebarapa foto dengan berbagai macam ukuran seolah menceritakan kehidupan di dalam panti dari waktu ke waktu. Suara ramai tadi akhirnya berhenti, dan semua mata memandang ke arah kami.
Selamat siang kaaaak, selamat datang di rumah kami….!”anak-anak panti menyambut kami, wajah mereka ceria sekali. Kami menjawab salam mereka dan senyum pun mengembang dengan sendirinya. Segera kami siapkan beberapa alat musik yang kami bawa. Yang tidak ikut memainkan musik mencoba berinteraksi dengan anak-anak panti, mereka sepertinya sudah biasa berhubungan dengan orang yang baru di kenal, mereka tidak canggung atau malu berbicara dengan kami, interaksi antara kami dengan anak panti pun mengalir dengan sangat menyenangkan. Pembicaraan kami pun ngalor-ngidul diselingi dengan canda dari kami juga anak-anak.
Lagu pertama dimulai, Rina menyanyikan lagu dengan suaranya yang sangat merdu. Kami semua terpukau melihat penampilannya, lagu-lagu ceria yang ia bawakan juga menggoda kami semua untuk menggoyangkan badan, dan turut menyanyikan lagu yang ia bawakan. Garis-garis bahagia mewarnai wajah setiap orang yang ada di ruangan itu. Seharusnya terasa sempurna sudah kebahagiaan yang kami rasakan saat ini, tapi bagiku, sebelum bertemu ibu dan memberi tahu apa yang aku dapat hari ini semuanya belum sempurna.
Setelah beberapa lagu selesai dinyanyikan, kami berkumpul di meja besar. Andi, seorang anak panti, saat ini berulang tahun, tepat dengan kunjungan kami hari ini. Sayang, kami tidak tahu dari awal, jadi kami tidak membawa kado untuknya. Walaupun tanpa kado, acaranya tetap meriah dengan dihibur beberapa temanku yang emang jago ngocol dan sudah terbiasa menjadi MC. Menyenangkan sekali bisa berbagi dengan orang lain, memberi apa yang kita miliki, dan membuat bahagia orang lain. Setelah kuenya dipotong dan setiap orang sudah dapat bagiannya masing-masing, MC membuat beberapa permainan untuk anak-anak panti juga kami.
Saat permainan berlangsung aku meminta Rina untuk menemaniku keliling melihat-lihat panti, Ibu Arfi ikut serta sebagai guide. Aku berjalan dengan antusiasme penuh sementara Rina sedikit tidak senang dengan keinginanku ini, ia masih ingin berada di sana untuk bermain dengan anak-anak. Aku biarkan saja ia seperti itu tanpa aku menanyainya atau menyarankannya untuk kembali. Saat Rina marah seperti sekarang, ia selalu manyun dan berusaha mengalingkan pandangannya dariku, dan pura-pura tidak mendengar setiap omonganku kecuali yang menguntungkan baginya. Terkadang aku tertawa melihat tingkahnya itu. Kalau sudah seperti ini dia terlihat seperti anak-anak.
Ibu Arfi mengantarkan kami ke sebuah kamar yang berukuran besar sebenarnya kalau untuk tinggal sendiri, tapi kamar ini untuk tidur 28 anak panti laki-laki. Kamar itu kira-kira ukuran 5 x 8 meter, tempat tidurnya hanya berupa karpet yang di tata sejajar dengan panjang ruangan. Beberapa bantal terlihat usang dan sepertinya kurang nyaman kalau digunakan untuk tidur. Ada 5 buah lemari di kamar ini, 2 buah lemari besar dan 3 lainnya berukuran lebih kecil. Lemari itu penuh dengan baju anak-anak, bahkan beberapa baju berusaha mengintip dari dalam lewat celah yang tercipta karena lemarinya sudah overload. Saat masuk ke dalam kamar ini, agak gelap dan udaranya pengap, ventilasi satu-satunya yang ada hanyalah jendela besar di sebelah Barat, membelakangi cahaya matahari pagi. Sekarang sudah siang tapi tetap saja cahaya matahari tidak menerangi kamar ini.
Wajah Rina yang tadi masih muram karena marah sekarang berganti menjadi sedih dan iba. Ukuran kamar ini sama dengan ukuran kamar Rina, dan ia tak bisa membayangkan bagaimana kalau semua anak sedang berkumpul disini. Bagaimana bila tidurnya kurang nyenyak karena harus rela berdesakkan untuk berbagi mendapatkan tempat. Di kamar ini juga agak panas, dan tidak aku lihat ada kipas angin untuk mengusir hawa panas. Entah apa jadinya bila musim panas datang dan semua anak berkumpul di kamar, banyak oksigen dihirup dan ventilasinya hanya ada satu, sedikitnya pertukaran udara jelas membuat semua orang gerah bila tinggal di sini. Kasihan sekali mereka, tapi salut juga mereka bisa beradaptasi dengan kondisi seperti ini, ataukah aku saja yang terlalu berlebihan menanggapi kondisi yang ada di depanku sekarang.
Hati kami berdua lega ketika ibu Arfi mengatakan kalau mereka sedang membangun sebuah kamar lagi untuk kamar tidur laki-laki. Ia sudah lama menyadari kalau yang tinggal di panti ini memang sudah melebihi kapasitas, tapi baru ada dana untuk membangun kamar, dan satu bulan lagi tempat tidur sumbangan dari donator akan mengisi kamar tidur laki-laki. Meskipun panti ini sudah penuh tapi pengurus panti masih membuka pintu bagi siapapun yang mau tinggal di sini, tapi ia dan pengurus lainnya hanya bisa memberikan fasilitas seadanya.
Kami kemudian di antar ke kamar tidur bagi anak perempuan di lantai atas. Kamar ini dua kali lebih besar dari kamar laki-laki. Dulunya kamar ini adalah dua kamar terpisah, namun karena jumlah anak perempuan di sini sudah melebihi kapasitas, kamar tidur untuk Ibu Arfi dan beberapa pengurus wanita lainnya dikorbankan, dinding pemisah antar kamar di jebol. Ibu Arfi dan pengurus wanita lainnya pindah ke gudang belakang yang disulap menjadi kamar tidur. Barang-barang bekas yang sebelumnya mengisi gudang sebagian diloakkan sebagian disimpan di sebuah ruangan semi permanen yang dibangun dengan bahan-bahan material sisa. Sebuah pelajaran baru aku dapatkan dari Ibu Arfi dan pengurus lainnya, ia melayani anak-anak panti setiap hari, tanpa istirahat, tapi ia tidak mengharapkan imbalan apapun dari anak-anak asuhnya, bahkan ia rela mengorbankan kamar tidurnya yang nyaman untuk ditempati anak-anak asuhnya yang tidak ada hubungan darah apapun, dan ia pindah ke tempat yang sebenarnya kurang nyaman untuk melepas penat seharian setelah mengurus anak-anak asuh yang mungkin beberapa dari mereka bandel, rewel, manja, dan juga mungkin merepotkan. Mereka mungkin sesekali mengeluh, ya sesekali, ketika penat memenuhi hati mereka, tapi mereka tetap memberi kasih sayang tulus kepada anak-anak asuhnya. Aku membayangkan kalau pelayan masyarakat juga seperti Ibu arfi dan pengurus panti lainnya, rakyat pasti sudah lama sejahtera.
Setelah melihat dapur yang amat sederhana untuk ukuran rumah yang penghuninya begitu banyak, Aku dan Rina mencoba merasakan bagaimana rasanya tidur di tempat tidur untuk pengurus panti yang lebih kecil dari kamar anak-anak panti. Udara disini juga sama pengapnya, karena ini bekas gudang maka tidak ada satupun ventilasi udara. Ibu Arfi kembali menghilangkan kekhawatiran kami lewat kata-katanya, kamar ini juga akan direnovasi setelah nanti kamar untuk anak laki-laki selesai.
Sederhana sekali panti asuhan ini, meskipun dana-dana dari donator mengalir lancer, tapi semua itu hanya bisa memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan juga biaya pendidikan. Itupun mereka harus pintar-pintar mengatur perputaran keuangan dan juga harus sedikit bersabar dalam urusan makanan, karena dana terbatas maka makanan untuk anak-anak pun juga ala kadarnya, cukup bila dilihat dari standar empat sehat lima sempurna. Apa yang aku alami hari ini mengingatkanku kembali kepada kehidupanku beberapa tahun yang lalu. Tiba-tiba air mataku mengalir, aku cepat-cepat mengusapnya sebelum Rina sempat melihatnya.
Aku tidak langsung kembali ke ruang tengah berkumpul bersama teman-teman, aku kembali tergoda untuk menikmati ayunan di samping panti, kelihatannya menyenangkan. Rina aku ajak untuk menemani. Ayunannya di bawah dahan-dahan pohon besar yang aku tidak tahu namanya, dahan-dahannya panjang dan besar dengan dipenuhi dedaunan yang lebat. Nyaman sekali rasanya duduk di ayunan ini, semilir angin bergantian bertiup dari kanan ataupun kiriku, sejuk sekali. Ada sejumlah burung yang sedang asyik bermain juga seperti orang-orang di dalam. Dari sini, terlihat kegiatan-kegiatan yang sedang dilakukan orang-orang di dalam. Tawa anak-anak panti, wajah bahagianya, hangatnya suasana dan pengurus panti sebagai orag tua asuh yang juga ikut berbahagia hari ini, membuatku kembali merindukan keluarga yang lengkap dalam hidupku, Ayah, Ibu, kakak, adik. Aku tidak seberuntung itu, hanya ibu yang aku miliki dalam keluarga. Bukan aku tidak bersyukur, aku hanya rindu.
Hening menyelimuti kami berdua, hanya suara burung, desiran angin dan suara-suara dari dalam yang terdengar. Rina melamun, matanya menerawang jauh ke dunia yang aku tak tahu. Aku sendiri juga asyik melamun tentang indahnya sebuah keluarga yang lengkap, keluarga yang belum pernah aku miliki dengan nyata. Selama ini aku hanya menciptakan sebuah khayalan yang berisi imajinasiku tentang keluargaku yang lengkap. Aku berkhayal tentang seorang adik laki-laki yang nakal tapi menggemaskan, adik yang manja kepadaku, beberapa kali berengkar, berbagi kasih sayang setiap hari, membantunya mengerjakan PR, memberinya dukungan ketika ia mengikuti suatu perlombaan, menenangkan tangisnya, aku sangat menginginkan itu semua. Aku juga berkhayal tentang seorang ayah yang bersahabat, melindungi keluarganya, menafkahi keluarganya, memberi nasehat kepada anak-anaknya, menikmati waktu bersama, aku mengkhayalkan itu semua, terkadang juga khayalanku berlebihan. Selalu kubayangkan di setiap sepiku raut wajahnya, lembut sentuhan tangan kasarnya bekas kerja keras setiap hari. Senyuman-senyuman yang mampu mengisi ulang semangat yang telah menipis. Dan pelukan hangat ketika aku sedang bersedih ataupun pelukan bangga ketika aku meraih sebuah prestasi. Aku menginginkan itu semua, sangat menginginkannya sejak aku menyadari keluarga tidaklah lengkap, ketika itu aku kelas 2 SD. Dan semakin bertambah usiaku, sosok seorang ayah sangat kubutuhkan dalam hidupku. Pernah waktu kecil aku menanyakan keberadaan ayah kepada Ibu, Ibu mengatakan sebuah kebohongan tentang ayah. Ia bercerita bahwa ayah sedang bekerja di luar negeri, dan kerja di luar negeri itu butuh waktu yang lama, jadi ayah belum bisa pulang. Beberapa pucuk surat sering aku terima dari tangan ibu, surat itu ayah yang menulis, begitu ibu mengatakannya kepadaku. Kata demi kata yang aku baca membuat jantungku berdebar, hatiku merasakan perasaan yang bercampur aduk, air mataku meleleh setiap kali aku membaca surat-surat darinya. Lembar demi lembar suratnya aku simpan rapi di sebuah kotak yang khusus aku buat untuknya, sebuah kotak bekas bungkus kado yang aku hias kembali dengan dedaunan dan beberapa origami buatanku. Aku ingin memberikan kotak itu kepada ayah suatu saat nanti saat ia pulang. Hadiah-hadiah ulang tahun juga selalu aku dapat setiap tahun. Hadiah yang sederhana sebenarnya, tapi sangat berarti untukku. Hadiah-hadiah sederhana itu juga berhasil mengusir rasa rinduku kepada ayahku.
Kebahagiaanku tentang ayah pun berakhir ketika sebuah masalah berat menimpa keluargaku, masalah yang hampir membuatku putus sekolah dan tak punya rumah. Saat masalah itu datang, ibu baru jujur kepadaku.
Note:
.ayahnya berteori bahwa hidup dibangun dari strata sosial, tetapi radit bilang bahwa untuk mendapat kedudukan tinggi nggak harus ada ditempat yang tinggi.
Note :
Niken : “saat kita menolong orang atau makhluk lain sebenarnya kita sedang menolong diri sendiri untuk lebih bahagia,”jadi Niken ingin menolong orang sebanyak-banyaknya.
Ilmu bisa menjadi sampah.
Berbuat baik terkadang membuat kita narsis dan menganggap diri kita baik
Note:
1 bab maksimal 15 halaman


----
Biqa mau dinikahkan dengan lulusan al azhar yang sudah punya pekerjaan dan bergelimang harta.
bodoh kamu, kamu biarkan dia menikah dengan orang lain?”
lalu kenapa, daripada aku merusak rencana orang lain?”
sekarang apa bedanya? Kamu malah membuat orang yang kamu cintai terluka, kecewa?”
dan aku akan membuat lebih banyak orang kecewa kalau aku merusak rencana pernikahannya.”
bodoh kamu! Dan dia nggak akan bisa berbakti kepada suaminya karena nggak cinta, itu sama aja perbuatan dosa!”
lama-lama dia akan terbiasa dan mencintai!”
lebih baik dari awal dengan cinta daripada dari baru ditengah jalan ia mampu melakukannya!”
ini permintaan orang tuanya!”
ah…aku nggak peduli lagi sama kamu! Kamu yang sekarang itu pengecut! Siapa dulu yang mengobarkan semangat saat yang lainnya layu, siapa dulu yang mengatakan semuanya bisa terjadi asal kita berani. Berani percaya, berani berdoa, berani melakukan! Dan sekarang pa kamu hanya diam bahkan bersedih pun kamu nggak berani, selama ini senyummu itu palsu dan aku tahu itu! karena aku sangat kenal kamu!”

0 komentar:

Posting Komentar

prev next