Rabu, 13 Juli 2011

cerita lama2

 Udah tiga hari ini Nina nggak bisa dihubungi. Sebenarnya bisa ditemui karena kita satu sekolah, tapi setiap ditemui dia selalu menghindar. Dia juga seolah punya radar yang merespon keberadaanku, setiap aku mau ke kelasnya atau ke tempat dia biasa ngumpul sama temennya dia selalu nggak ada. Aku jadi sulit banget buat ketemu Nina.
Seminggu berlalu, keadaan nggak berubah juga. Buat aku jadi stress, masalah yang nggak selesai itu seperti lubang dalam pikiran, ingin segera ditutup. Berkali-berkali telponku ke hpnya selalu direject, hpnya pun aktif cuma saat-saat tertentu aja. Telponku ke rumahnya juga sering dimatiin gitu aja. Usaha seperti itu hanya sia-sia saja.
Hari-hariku tersita hanya untuk memikirkan masalah ini. Rumus-rumus nggak bisa menembus otakku, hapalan-hapalan nggak bisa lama bertahan, catatan-catatan jadi males buat dibaca, hanya jadi tumpukan kertas dikamar. Seminggu sudah aku tersiksa dengan psikologi “diam” Nina, sakit banget. Mungkin…selama ini, saat kita saling cuek, Nina juga merasakan hal yang sama, sepertinya lebih sakit dari ini.
Dewi juga melakukan aksi “diam” seperti Nina, sulit buat dihubungi apalagi ditemui. Sebenarnya aku ingin tahu kenapa saat itu dia terlihat marah, apa dia marah ke aku? Atau kenapa?
Aku udah nggak tahan dengan keadaan seperti ini, kuputuskan buat datang ke rumah Nina. Selama ini Nina selalu melarang aku buat main ke rumahnya, alasannya karena orangtuanya nanti berpikir aku pacarnya, seperti kebanyakan orangtua, orangtuanya nggak suka Nina pacaran. Kali ini aku nggak peduliin larangan itu. Aku tetap ke rumah Nina.
Nina kaget aku datang ke rumahnya.
“Ngapain kesini?” tanyanya. Wajahnya masih nunjukin kalau marahnya belum juga reda.
“Mau ketemu kamu…ada yang mau aku omongin”
“Ya udah…duduk” nada kalimatnya tetap judes.
Kita duduk didepan rumahnya. Aku mulai pembicaraan dengan canggung, kata pertama yang kuucapkan adalah maaf. Kata itu juga yang paling sering aku ucap sepanjang pembicaraanku. Setiap kata demi kata, kalimat demi kalimat aku pilih dengan hati-hati, takut membuatnya jadi semakin marah.
Aku ceritakan semuanya dari pertama, dari hal yang dia sudah tahu sampai yang kurahasiakan. Nggak ada lagi yang ingin aku tutupi. Awal hubunganku dengan Dewi yang nggak sengaja ketemu di sebuah acara karnaval, lalu aku minta nomer hpnya. Ketika itu aku belum dekat dengan Nina, tapi aku sudah naksir dia sejak awal-awal masuk SMA.
Karena Nina sayang banget ke cowoknya, aku jadi mulai putus asa buat bisa dekat dengannya. Statusku yang lama jomblo ngebuat aku ingin cepat-cepat punya pacar. Lama nyari akhirnya ketemu dengan Dewi. Dia seolah-olah dikirim Tuhan buat nyadarin aku kalau cinta itu masih bisa aku dapatkan. Dari tukeran nomer hp sampai ngobrol dan ketemuan, hubunganku dengan Dewi jadi dekat, kita udah saling ngucapin kangen, kita udah saling nunjukin rasa sayang. Walaupun aku udah lama jomblo, tapi aku nggak mau buru-buru, aku ingin meyakinkan diri dulu. Lagian kita juga nyaman dengan hubungan tanpa status ini.
Status itu selain sebagai ikatan juga sebagai benteng untuk menutup hati dari orang lain selain pacar kita, dalam hubunganku dengan Dewi nggak ada yang namanya status. Ini sangat beresiko. Dewi dan aku rentan buat menjalin hubungan dengan orang lain. Aku yang udah kelas dua mulai sibuk dengan kegiatan sekolah. Kakak kelasku ngasih amanah ke aku untuk jadi Ketua Divisi di OSIS. Dewi masih kelas satu, banyak kegiatan yang harus dia ikutin. Kunci dari sebuah hubungan adalah komunikasi. Komunikasiku dengan Dewi jadi berkurang kuantitas dan kualitasnya. Kadang, hal yang kita omongin itu-itu aja. Hubungan kita jadi berjarak.
Nina yang nggak pernah sms aku kecuali urusan sekolah tiba-tiba sms aku, isi smsnya sama sekali nggak ada hubungannya dengan urusan sekolah, dia curhat ke aku tentang cowoknya, tapi kata-katanya nggak lugas, dia pake kata-kata yang agak kias. Ia sih, denger-denger dari temennya, dia emang lagi bpunya masalah sama cowoknya. Pertamanya aku bingung, kenapa nih cewek? Apa salah kirim? Setelah aku cek ke orangnya ternyata dia nggak salah kirim. Tapi tetap aja bingung, kenapa aku? Kenapa orang yang nggak pernah diperhatiin olehnya ini yang harus jadi tempat curhat? Whatever…bantu temen apa salahnya sih. Jujur, aku juga seneng, akhirnya dia nganggep aku ada nggak cuma sebagai anggota ekskul majalah sekolah, RC.
Sms-sms Nina jadi rajin mengisi inbox hpku, sementara sms Dewi udah mulai jarang masuk ke hpku. Aku kangen sama Dewi, sebenarnya rumahnya nggak jauh dari rumahku, tapi setiap aku mau main, dia selalu nggak bisa, bukan niat cari-cari alasan, tapi memang dia sedang sibuk dengan kegiatan sekolah.
Sekarang, Nina mengalihkan perhatianku dari Dewi. Karena sama-sama anggota OSIS. Yang ada, setiap hari aku dan Nina sering ketemu dan rajin bertukar cerita. Aku tentang hari-hari dikelas, kalau Nina hampir setiap kali ngomongin tentang cowoknya. Telingaku dengan sabar mendengarkan setiap keluh kesahnya. Kepalaku setia mengangguk untuk meyakinkan kalo aku mengerti apa yang dia bicarakan, dan aku nggak ngelepasin pandanganku dari wajah manisnya. Dibalik itu semua, aku sedang mengagumi Nina dan bersyukur. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa memandang wajahnya sedekat ini, sebelumnya aku hanya punya kesempatan memandangnya dari jauh. Setelah sekian lama aku hanya dianggap sebagai orang lain, sekarang aku adalah orang penting untuknya, walaupun hanya sebagai pelabuhan curhat, nggak lebih.
Hari senin, pulang sekolah ada latihan pramuka buat anak kelas satu. Aku dan temen-temen sedang siap-siap buat melatih, Nina datengin aku dengan wajah yang muram banget, dia bilang mau curhat. Kita berdua nyari tempat yang pewe buat ngobrol.
Baru sebentar dia cerita, air matanya tumpah. Oh God! Ini pertama kalinya aku ngeliat, cewek yang aku suka nangis, tepat didepanku. Apa yang harus aku lakukan? Udah beberapa lama tapi dia masih nangis, aku jadi panik, tapi nggak tau apa yang mesti aku lakukan. Stay cool, aku bilang aja kalau lebih baik dia ngeluarin semuanya, nangis gapapa, biar lega. Nggak tahu benar apa nggak yang aku katakan, setahuku air mata itu bisa menguras kesedihan dihati.
Dua hari setelah curhat penuh tangis itu, dia ngomong kalau dia udah putus. Perasaanku? Seneng, banget, selain akhirnya dia nggak menderita lagi karena cowoknya, dia sekarang juga : JOMBLO!
Udah lama nggak hubungi Dewi aku jadi kangen. Jawabannya waktu aku tanya kabarnya, kurang enak bagiku, dia ada yang nembak sekarang, tapi bingung mau diterima apa enggak. Sebuah helaan nafas panjang, aku ketik sms setengah ikhlas, “Ya udah terima aja…”. Bukan aku sedang mempermainkan Dewi, tapi aku harus memilih: bertahan dengan Dewi, atau ngejar Nina.
“Setelah itu aku jadian sama kamu. Aku dan Dewi udah nggak berhubungan, kadang sesekali, sekedar tanya kabar. Sampai kemarin kita ada masalah terus Dewi ngisi kejenuhan hubungan kita, tepatnya Dewi mengencerkan kejenuhanku sama kamu. Tapi saat itu…”
“Kamu sebenarnya suka nggak sih sama Dewi?”potong Nina. Nada bicaranya udah mulai kalem.
Aku mengangguk pelan.
“Terus kenapa kamu masih kesini?! Kenapa nggak pergi aja sama dia?!”
“Karena aku sayang kamu….aku…”
“Oh, jadi mau mendua gitu?! Maaf ya aku nggak bisa!”potong Nina lagi.
“Bukan, bukan gitu…biar aku jelasin dulu dong.”jawabku, mencoba meredakan emosi Nina. “Aku emang salah, nggak seharusnya aku punya masalah sama pacarku, terus malah kencan sama orang lain, harusnya aku nyelesein masalahku.”
Semua kesalahanku aku akui didepannya. Aku juga jelasin, saat jenuh dengan orang yang aku cinta, emang nggak seharusnya aku ganti orang yang aku cinta dengan orang lain, seharusnya yang aku lakukan adalah mengganti caraku mencintainya dengan cara yang baru.
“Sekarang aku milih kamu, dengan alasan yang sama seperti saat kita jadian dulu. Aku mau memulai lagi dari nol, dari belajar mengerti kamu, belajar menghargai kamu, berbagi perhatian. Mencintaimu dari hal yang paling sederhana, mencintaimu kamu apa adanya.”
Kutatap mata cantik itu, “Maafin aku Nin, aku udah ngelakuin banyak hal yang nyakitin kamu….”
“Iah, aku maafin….”katanya dengan helaan nafas yang berat, seolah ia sedang mengeluarkan semua kesedihannya dari dalam hatinya.
Sekarang masalah selesai. Nina minta waktu untuk menyiapkan diri menjalani kisah cinta baru dengan orang yang sama. Aku menyetujuinya, sepertinya aku juga perlu persiapan.
----
Malam hari sebelum aku tidur, Nina telepon sambil nangis, kukira ada yang salah lagi dengan diriku.
“Kenapa nangis Nin?”tanyaku penasaran.
Maaf ya sayang, bukan aku nggak cinta lagi sama kamu, tapi orang tuaku tahu kalau aku punya pacar, mereka nggak suka. Aku disuruh fokus ke ujian.”suaranya bergetar “Jadi kita sekarang…pu..putus. Ma…af ya….”tangisannya semakin menjadi.
Emang orang tua harus diturutin Nin, heemh, aku nggak bisa apa-apa lagi…”sumpah, aku speechless, hanya itu yang bisa ku katakan. “Tapi kita masih temenan kan?”
Iya…masih. Ma..afin aku ya Cal…”Nina mencoba tegar diujung telpon sana”Aku sayang kamu Cal…”
Iya, aku juga sayang kamu Nin.”
Malam itu aku nggak bisa tidur.

0 komentar:

Posting Komentar

prev next