Rabu, 13 Juli 2011

cerita



Mengenang masa lalu seperti melihat komet atau bintang jauh, semuanya terlihat berlalu sangat cepat.
Bangun tidur aku buka kalender dihpku, menghitung berapa hari lagi tersisa sebelum Ujian Nasional. Tersisa dua bulan lagi. Merasa nggak percaya, aku hitung lagi berulang-ulang sampai kurasa cukup, pikiranku melayang jauh memutar memori masa lalu, seingatku masa depan nggak pernah sedekat ini selama hidupku. Nggak terasa sekarang udah masa-masa terakhir di SMA, perasaan baru aja kemarin aku daftar ke SMA, nunggu pengumuman sambil deg-degan karena nilai ujian SMPku terbilang kecil untuk bersaing dengan calon siswa lainnya.
Seperti layaknya anak SMA tahun terakhir lainnya, aku mulai disibukkan dengan rutinitas belajar untuk Ujian Nasional dan tes-tes masuk Perguruan Tinggi. Beberapa tes masuk perguruan tinggi negeri tidak perlu tes tulis, hanya tinggal mengirim fotokopi nilai raport yang ditentukan, masuk nggaknya nanti ditentukan selera pihak kampus.
Sejauh ini aku belum mutusin, kampus mana yang akan aku pilih. Entahlah, aku belum begitu tertarik membicarakan masa depan, karena yang kulihat masa depan itu sangat panjang dan banyak pilihan, sementara kehidupanku di SMA tinggal dua bulan, lebih baik aku menikmati saja hari-hari terakhir ini.
Masa-masa terakhir SMA nggak bisa lepas dari masalah. Masalah itu emang nggak pernah tau diri kalau datang. Masalah bisa datang kapanpun, dimanapun, dalam bentuk apapun. Disaat lagi stress buat fokus ke belajar, masalah malah seenaknya aja nyelonong masuk ke kehidupan. Masalah itu punya porsinya masing-masing untuk diselesaikan, untuk remaja biasanya yang diberi porsi terbesar adalah cinta. Masalah cinta emang sangat kompleks dan punya keunikannya sendiri.
Jatuh cinta emang nggak selalu butuh logika. Banyak orang yang ditanya kenapa kok suka sama dia, awalnya pasti bingung mau jawab apa, karena jatuh cinta itu pada dasarnya pake hati bukan pake otak. Sementara buat nyelesein masalah cinta, butuh logika yang tepat. Salah-salah, masalah bakal jadi semakin parah.
----
Nggak semua remaja bisa jatuh cinta dengan “benar”. Aku, salah satu orang yang saat itu belum tumbuh dewasa, pikiranku masih sangat childish. Ngejalanin cinta dengan kechilldish-an emang nggak enak banget, sangat menyiksa, menyiksa buat aku dan pacarku.
Saat itu aku ingin belajar setia, tapi ternyata berat banget. Dewi, cewek yang aku suka dulu datang tepat saat aku jenuh dengan pacarku. Aku merasa butuh sesuatu yang baru dalam hubunganku dan harapanku tentang sesuatu yang baru itu aku pasrahkan ke Dewi. Aku dan Dewi jadi deket lagi, kita sering cerita masalah masing-masing, dan sesekali ketemuan. Dewi saat itu baru putus dengan pacarnya. Kita jadi merasa ada persamaan, sama-sama butuh seseorang. Dari saling berbagi cerita sampai ketemuan, akhirnya tumbuh perasaan antara kita, tapi kita masih malu untuk mengakuinya. Buatku bukan cuma karena malu, tapi karena aku udah punya pacar. Nggak mungkin kan kalau mendua, itu akan semakin nyakitin pacarku. Mutusin pacarku? No, sampai saat ini belum pernah aku temuin cewek yang mau nerima aku apa adanya seperti dia.
Aku dan Dewi terus jalanin hubungan ini, entahlah apa namanya hubungan ini. Kita berdua menikmatinya, tapi disatu sisi aku merasa bersalah dengan Nina, pacarku. Aku menikmati saat-saat ngobrol dengan Dewi, saat jalan bareng, tapi di hati ada perasaan bersalah kepada Nina, karena aku udah berbohong, juga karena aku nyuekin dia.
Lama-lama aku merasa hubungan ini sudah masuk stadium selingkuh. Sebenarnya, Dewi tau aku sudah punya pacar, tapi dia bilang kalau selama ini aku telah mengisi kekosongan hatinya dan aku juga merasa dia mewarnai hubunganku dengan Nina yang sedang jenuh-jenuhnya. Perlahan, Dewi mulai bisa menggantikan posisi Nina, dia bisa ngebuat aku senyum, dia ngebuat aku bahagia.
Setiap abis jalan sama Dewi, aku sadar telah melakukan kesalahan, kesalahan yang nggak seharusnya aku lakukan. Tapi, setiap Dewi sms, aku nggak bisa untuk nggak balas smsnya, setiap Dewi telepon, aku nggak bisa untuk nggak ngangkat, setiap Dewi ngajak jalan, aku nggak bisa untuk nggak nolak. Aku butuh perhatian yang udah mulai nggak diberikan Nina, aku butuh kasih sayang yang mulai nggak ada dalam hubunganku dengan Nina. Semua hal yang kubutuhkan ada pada sosok Dewi.
Suatu malam, selesai belajar, kupandangin foto Nina, merenung, muter kembali memori dimasa lalu, apa yang udah kita berdua lalui. Hemh, mungkin orang yang ada difoto ini, orang yang aku cintai, udah berubah, orangnya tetap sama, tapi pribadinya udah mulai berubah. Mungkin aku juga udah mulai berubah, bukan lagi cowok yang dia suka pertama kali dulu. Kita berdua udah berubah, perubahan itu udah ngebuat kita jadi beda, dan perbedaan itu yang ngebuat jarak diantara kita, mungkin….
Sebelum tidur kuambil hp, niatnya mau sms Nina, mencoba mencairkan kebekuan. Tapi seperti biasanya, aku selalu bingung mau ngetik apa, udah nggak ada lagi hal menyenangkan yang bisa kita obrolin. Aku coba cari-cari topik yang menarik, sampai kepala pusing tetap saja nggak dapat apa-apa. Nyerah, aku cuma bisa nulis, “Maafin aku Nin,…aku sayang kamu.” Beberapa menit kemudian sms dari Dewi aku baca, “Maafin aku juga ya sayang, aku udah nyuekin kamu berhari-hari…I Love U too, Cal.” Kata-kata itu bat dadaku jadi sesak, penuh dengan rasa bersalah.
Malam itu jadi malam yang panjang, hanya ada aku, rasa bersalah dan kesedihan. Sampai malam itu berakhir, aku tetap nggak bisa nemuin solusi buat menyelesaikan masalahku. Maafin aku, Nina….
---
Aku coba membangun kembali hubunganku dengan Nina mulai dari nol. Seperti kembali ke rutinitas, Nina sering aku anterin ke tempat dia bimbel, otomatis intensitas ketemu jadi meningkat. Komunikasi kita juga mulai membaik, selalu ada waktu buat ngobrol, walaupun topiknya nggak jauh-jauh dari Ujian Nasional dan tes masuk perguruan tinggi. Perhatianku ke dia kembali seperti biasa, aku bantuin dia nyiapin perlengkapan buat PMDK, (semacam tes masuk perguruan tinggi, biasanya tanpa tes tapi harus punya nilai yang bersaing), aku nyariin dia informasi tes masuk perguruan tinggi negeri lainnya, apa yang dia butuhkan aku coba penuhi, walaupun nggak semuanya aku bisa.
Berbeda dengan aku, Nina udah punya pilihan jurusan kuliah. Dia merencanakan dengan matang, berbagai macam Try Out dia ikuti untuk menguatkan mental, ibadahnya juga semakin rajin dari ke hari. Sebenarnya aku malu, sebagai cowok malahan aku nggak punya rencana apapun buat masa depanku.
Dewi udah kembali seperti biasanya, bawel, nyebelin sih tapi nyenengin. Itu salah satu yang aku kangenin selama ini. Dia sering marahin aku kalau aku nggak belajar, sementara Ujian Nasional udah tambah deket aja. Hampir setiap akhir minggu aku dikasih soal-soal buat dikerjain. Kalau aku nggak bisa ngerjain dia bantuin, sumpah, dia cewek yang cerdas banget, aku sering dibuat iri sama otaknya.
Disela-sela kesibukan bimbel dan tambahan pelajaran disekolah yang bener-bener nyita waktu dan tenaga, kita berdua nyempetin buat jalan, rutinitas yang udah lama banget nggak kita lakukan. Kita ngobrol tentang banyak hal, bercanda, ketawa-tawa, ya, seperti orang yang baru pacaran. Tapi emang dasar Nina, nggak bisa kalau nggak bicara serius. Lagi-lagi kita ngomongin tentang perguruan tinggi yang mau dituju.
“Kamu udah nentuin mau masuk mana?”tanya Nina sambil makan kentang goreng rasa balado.
“Ehm…belum ada planning tuh…” aku meringis aja jawab pertanyaan Nina.
“Loh kok bisa belum nyusun planning, kan bentar lagi kita lulus.”
Aku senyum aja, mau jawab tapi Nina udah nyela duluan.
“Kalau kamu nggak peduli sama masa depanmu sendiri, gimana kamu bisa peduli sama masa depan kita?”kata Nina penuh penekanan.
Senyumku pudar, kalimat itu aku resapin lagi. Kalimat itu membuatku sadar, selama ini aku melakukan kesalahan. Saat semua teman-teman menyiapkan masa depannya, aku masih aja nyantai tanpa satupun persiapan. Selama ini aku nggak peduli sama masa depan, padahal tempatku tinggal nanti kan masa depan, lalu kenapa nggak mulai membangunnya dari sekarang sebelum terlambat?
Di rumah, aku mikir universitas mana yang harus aku tuju, jurusan apa yang mesti aku pilih. Daftar-daftar universitas dan jurusan tersusun rapi dibukuku, lalu mulai kucocokkan dengan nilai-nilaiku di raport. Sial, nggak ada satupun pelajaran yang nunjukin nilai bagus. Ya, selama SMA emang nilaiku nggak pernah ada yang bagus, selain aku nggak pinter, aku juga males kalau belajar, beda sama SMP. Bingung, karena nggak ada satu pelajaran yang benar-benar aku kuasai, yang bisa dibuat acuan buat milih jurusan.
Lagi asik-asiknya nyari universitas dan jurusan, ada telepon dari Dewi. Dari suaranya yang serak ditelepon aku nebak kalau dia abis nangis. Dia bilang kangen banget sama aku, saat itu dia juga lagi ada masalah sama mantannya. Waktu aku tanya masalahnya dia nggak mau cerita, katanya dia pengen ngomong langsung aja. Aku mengiyakan, bagiku ini juga kesempatan untuk ngomongin tentang aku, Nina, dan Dewi. Ya, semuanya mau aku selesein sekarang juga.
Kita ketemuan di tempat makan favorit Dewi. Dewi cerita sambil nangis saat kita ketemuan. Minggu kemarin, mantannya ngajak jalan, mereka berdua nonton. Selesai nonton, mantannya minta ke Dewi buat balikan. Sebenarnya Dewi bingung mau balikan atau nolak, tapi saat itu, satu sisi dia masih suka sama mantannya, tapi Dewi juga nggak bisa ngelupain rasa sakit begitu aja. Tapi kata Dewi, mantannya minta dengan sungguh-sungguh. Dia juga janji kalau nggak akan nyakitin Dewi lagi, nggak akan selingkuh. Akhirnya Dewi luluh dengan pengakuan salah dan kata-kata janji mantannya. Dewi menerima kembali mantannya. Beberapa hari setelah mereka balikan, Dewi didatengin seorang cewek disekolahnya. Di depan teman-teman Dewi, cewek itu ngelabrak Dewi, memaki-maki, ia ngomong seperti kesetanan. Cewek itu merasa dewa udah merebut Adi, pacarnya, yang absolutely pacar Dewi juga. Dewi orangnya kalem, dia cuma bisa nangis dan minta maaf sama cewek itu. Setelah cewek itu pulang, Dewi langsung menelpon Adi, dia minta putus dan minta Adi nggak nemuin atau hubungi dia lagi. Hati Dewi udah hancur berkeping-keping karena permainan Adi.
Lihat Dewi nangis, aku urungkan niat buat ngomongin tentang aku, Nina dan dia. Niatku sekarang ganti jadi gimana caranya buat dia berhenti nangis. Disandarkan kepalanya dibahuku, airmatanya masih mengalir. Aku pegang tangannya, aku rangkul bahunya mencoba menenangkan. Kita berdua diam.
Aku berpikir, sebenarnya aku dilema. Satu sisi aku nggak mau putus sama Nina, nggak, aku nggak mau nyerah buat bangun hubungan kita jadi kayak dulu lagi. Tapi satu sisi, aku jenuh, lagipula aku sekarang sadar aku benar-benar udah jatuh cinta sama Dewi.
Seorang cewek tiba-tiba datengin kita berdua. Aku lihat cewek itu. Oh God, cewek itu, Nina. Aku benar-benar kaget dengan kedatangan Nina yang tiba-tiba. Raut mukanya marah banget, matanya berkaca-kaca. Dewi duduk tegak ngelepasin rangkulanku, dia juga kaget dengan kedatangan Nina yang tiba-tiba.
Nina ngeliatin kita berdua, matanya semakin berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Karena sangat marah, seolah-olah dia sulit buat ngeluarin kata-kata. Nina menatap mataku dalam-dalam, seolah-olah ingin memarahiku tapi nggak sanggup, ia terlalu emosi saat itu. Nina memang bawel, tapi kalau marah, Nina sering hanya diam. Aku diam, nggak ada yang bisa aku katakan, karena Nina emang udah nangkap basah kita berdua.
Air mata Nina udah nggak bisa ditahan lagi, “Sulit buat maafin kamu!”kata dia yang udah nangis. Nina lari keluar, aku berusaha mengejar.
“Nina, aku bisa jelasin ini…”kataku setengah teriak. Mencoba berhentiin Nina
“Nggak ada yang perlu dijelasin lagi!”Nina membentak tanpa melihat ke arahku, “Dan nggak usah ngikutin aku! Pergi kamu!”
Aku berusaha ngejar, aku lari dan berhenti didepannya, tapi Nina menabrak aku begitu aja tanpa peduli. Aku berusaha ngeraih tangannya tapi dia selalu berhasil mengelak. Akhirnya dia pergi, aku hanya bisa ngeliat dia menjauh.
Dewi yang tadi masih duduk didalam, sekarang udah ada dibelakangku. Dia pamit pulang tanpa melihat aku. Tawaranku mengantarnya juga pulang ditolak. Sekali lagi, aku hanya bisa ngeliat Dewi menjauh.
Aaaah!!! Sial!!!
Kenapa saat aku mulai kembali membangun hubungan dengan Nina harus terjadi seperti ini?! Kenapa saat aku mulai belajar mencintai Nina lagi harus terjadi seperti ini?! Kenapa saat aku memilih, harus terjadi seperti ini?! Kenapa harus seperti ini skenarioMu Tuhan?!

0 komentar:

Posting Komentar

prev next