Rabu, 13 Juli 2011

indonesia

 Indonesia, negeri dengan potensi yang sangat melimpah. Potensi tersebut terdiri dari potensi SDA dan juga SDM. Indonesia adalah salah satu negara terbesar di dunia dan juga terletak di garis khatulistiwa yang menjadikan Indonesia sebagai kawasan tropis. Negara yang begitu besar dengan sumberdaya yang tersedia melimpah ruah semestinya dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan dari berbagai sektor, bahkan semestinya sebagai salah satu penyuplai kebutuhan di dunia. Namun kenyataannya berbeda.
Masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih dari dua ratus juta jiwa tidak semuanya mendapatkan kehidupan yang layak. Bahkan sebagian dari mereka bisa saya sebut sangat kurang dalam hidupnya. Hal ini bisa kita lihat mulai dari pangan, kesehatan hingga pekerjaan yang semakin sulit didapatkan.
Indonesia dengan julukan negara agraris patutlah untuk tidak sepenuhnya berbangga diri, karena julukan tersebut mulai luntur hakikatnya. Makanan pokok dari masyarakat kita adalah beras. Dan tanaman pangan terbesar yang ditanam petani adalah padi. Seharusnya kita tidak lagi sampai mengimpor beras pada waktu-waktu yang lalu. Kini, julukan negara agraris sepantasnya tidak lagi dibanggakan. Masyarakat mulai merasakan bahwa julukan tersebut bukanlah jati diri rakyat sebenarnya, harga beras mulai melangit, terkadang beras menjadi barang yang mewah bagi sebagian masyarakat. Masyarakat kita yang sudah terdoktrin dengan ungkapan “nggak makan kalo nggak nasi” tidak bisa mengalihkan sumber karbohidrat ke bahan pangan yang lainnya, misalnnya jagung, kentang, pisang ataupun singkong. Hal ini disebabkan karena rasa nasi yang enak, sehingga terkadang tidak butuh lauk yang bermacam-macam untuk menikmatinya, dan juga kandungan gizinya yang baik.
Beberapa kali terdapat kasus, busung lapar di berbagai daerah yang sering luput dari perhatian pemerintah. Pemerintah bertindak setelah kasus tersebut menyebar ke masyarakat luas. Kasus ini juga semakin mencoreng nama “negara agraris”. Memang sangat kontradiksi bila melihat Indonesia adalah negeri hutan hujan tropis, yang tumbuhan apapun hampir semuanya ada. Kata grup band legendaris Indonesia pun sampai membuat syair hiperbolis, “batu dan kayu pun jadi tanaman”. Sungguh ironis sekali bangsa kita, menyombongkan diri di mata dunia dengan julukan negara agraris tapi masyarakatnya masih ada yang tidak terpenuhi kebutuhan pangannya.
Masyarakat indonesia yang terdiri dari berbagai macam golongan ekonomi, tentunya juga memiliki berbagai macam selera dalam pangan. Namun, semakin modernnya zaman, masyarakat kita pun mulai mengubah gaya hidupnya, termasuk dalam memilih bahan pangan. Masyarakat kita semakin lama semakin menghargai barang-barang mewah dan sebagian besar adalah barang-barang mewah impor. Atau bahasa lebih kerennya, hedonisme kini tidak hanya berkembang didalam masyarakat tetapi telah menjadi suatu konsumsi. Kini, gaya hidup yang seperti itu juga telah berkembang di dunia pangan masyarakat kita. Berbagai macam buah-buahan di Indonesia yang beredar di pasaran saat ini mulai dipenuhi dengan buah-buahan impor. Hal ini tentunya membuat masyarakat kita yang bekerja di bidang tersebut dan masih menggunakan buah lokal merasa mulai terancam dengan kehadiran buah-buahan dan bahan pangan impor, yang memang secara kualitas lebih. Dan lebih ironi lagi, masyarakat kita mau dan bangga membeli pangan impor meskipun mahal sekali, tetapi menawar bahan pangan lokal dengan semurah-murahnya. Tentunya ini membuat pedagang pangan lokal semakin nelangsa.
Indonesia memiliki sebuah universitas yang fokus di bidang pertanian, yaitu Institut Pertanian Bogor, biasa disebut IPB, yang namanya sudah go international. Dan menurut masyarakat kampus tersebut, IPB sudah masuk peringkat 500 universitas terbaik dunia, dan juga sebagai universitas terbaik di asia tenggara. Kita patut berbangga diri dengan prestasi dari IPB. Tapi apakah prestasi tersebut selaras dengan kondisi di mana universitas itu berada. Dan juga seharusnya, prestasi tersebut adalah suatu katalis bagi pertanian Indonesia. Dalam kenyataannya prestasi tersebut tidak berbanding lurus dengan kondisi pertanian Indonesia.
Sudah berapa macam buah-buahan yang kita lebih bangga untuk membelinya bila berlabelkan “bangkok” daripada membeli buah lokal? Sudah berapa macam buah kita yang go international? Sudah berapa sering kita mengekspor hasil pertanian kita ke luar negeri di banding Thailand? Kita patut mempertanyakan eksistensi dari pertanian kita. Kita juga patut mempertanyakan eksistensi dari masyarakat institut tersebut.
IPB adalah universitas yang unik, dimana lulusannya tidak hanya bekerja dibidang yang digelutinya saat mengenyam pendidikan. Banyak dari mereka yang bekerja di bank, padahal jurusan peternakan, bekerja sebagai provider, padahal jurusan perikanan. Hal ini mungkin bisa menjadi faktor mengapa pertanian Indonesia tidak kunjung ada perubahan yang lebih baik.
Indonesia tidak memiliki perkembangan yang lebih baik di pertaniannya juga disebabkan oleh minat calon mahasiswa kepada dunia pertanian yang sangatlah kurang. Setiap tahunnya ratusan pagu di bidang pertanian tidak ada yang mengisi. Dan di beberapa universitas, jurusan-jurusan di bidang pertanian terpaksa ditutp karena tidak adanya mahasiswa. Beberapa faktor menyebabkan hal ini terjadi, mulai dari cara pandang mereka terhadap dunia pertanian yang mereka mengira hanya bercocok tanam dan juga berkotor-kotoran, padahal pertanian itu sangatlah luas. Prospek kerja sebagai pegawai negeri sangatlah kecil. Yah begitulah cara pandang yang mengungkung negara kita untuk maju, “pegawai negeri”. Banyak dari orangtua lebih suka anaknya sebagai pegawai negeri yang pasti pendapatannya terjamin. Memang bidang pertanian membutuhkan keuletan dan kreatifitas diri sendiri. Kebanyakan pekerjaan di bidang pertanian adalah pengusaha. Bukankah itu lebih mulia? Pegawai negeri adalah pekerjaan yang bekerja kepada seseorang atau sesuatu dan mereka adalah pengisi dari lapangan pekerjaan. Sementara pengusaha, pekerjaan kepada dirinya sendiri dan juga bisa untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Pertanian dan pangan sangatlah tidak bisa dilepaskan, karena mereka saling bergantung. Dan semoga ke depannya, masala-masalah dari kedua bidang tersebut segera dapat ditangani, sehingga kita tidak hanya bangga menjadi negera agraris tapi juga menjadikannya sebagai jati diri bangsa.
Yah begitulah sedikit kegelisahan yang ingin saya curhatkan kepada anda sekalian. Bukan maksud untuk menggurui, saya sangat menyadari, masih banyak sekali kekurangan di tulisan saya, dan kesempurnaan hanya milik Allah. Terima kasih atas perhatiannya.

0 komentar:

Posting Komentar

prev next