Sabtu, 06 November 2010

beri ruang dan kesempatan bagi yang menyakitimu

BERILAH RUANG DAN KESEMPATAN BAGI YANG PERNAH MENYAKITIMU

True story, about her…

Saat seseorang menyakiti, hingga hati tersayat sangat dalam dan itu sangat perih, saat itu satu hal yang paling diinginkan lebih dari sekedar kesembuhan luka adalah dia, yang menyakiti, enyah sejauh-jauhnya dari hidup kita. Jauh itu relatif, jauh dalam artian jarak atau jauh dalam artian tidak mendekati cerita hidup kita. Kalau jauh dalam artian jarak dan dia tetap berada dalam cerita hidup, bukankah sama saja dengan tidak pergi? Namun sayangnya, terkadang kita sendiri yang menghadirkan dia untuk tetap berada di hidup kita, dengan berkeluh kesah tentang masa lalu saat masih bersama dia, dengan masih mencaci dan menggunjing kesalahan di masa lalunya, atau dengan menggosip tentang kehidupannya yang sekarang. Padahal dia sudah menjauh dalam konteks jarak maupun tidak mengganggu kehidupan kita.

Sadarkah, sebenarnya bukan dia yang tetap berada dikehidupan kita, tapi kita yang terus saja menghadirkan dia. Sebenarnya bukan dia yang masih saja mengusik kehidupan kita, tapi kita yang menyiksa diri dengan tetap menghadirkan dia di acara menggosip kesukaan kita. Lalu masihkah kita tetap menyalahkan dia atas kegundahan dan kegelisahan kita di masa sekarang? Padahal kesalahan dan dosanya itu hidup di masa lalu? Ya, selain luka hati itu tak terlihat, kesembuhannya butuh waktu yang sangat lama, dan bila sembuhpun pasti meninggalkan bekas.

Ikhlas, sejak umur berapa kita telah belajar teori ikhlas? Kata ikhlas sering kita ucapkan saat kita memaafkan orang yang telah menyakiti kita, ataupun dalam mengerjakan sesuatu. Ucapan saja, kebanyakan dari kita masih dalam tahap itu, belum sepenuhnya mengaplikasikan ikhlas itu sendiri secara nyata. Lalu, dengan alasan forgiven but not forgotten, dengan leluasanya kita tetap menghakimi dia, yang menyakiti kita, dari waktu ke waktu, seolah-olah setiap detiknya dia terus saja menggoreskan kesalahan kepada kita. Ikhlas memang sungguh sangat berat, namun, tanpa kita sadari keikhlasan orang yang menyakiti kita untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya membuat derajat kita seolah-olah lebih rendah bila kita tak memberikan maaf secara ikhlas. Ingat, mengakui kesalahan dan meminta maaf secara ikhlas bukanlah hal yang mudah. Memaafkan jauh lebih mulia daripada memohon maaf, bukankah tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah? Kata Ustadz Jefri, Ikhlas itu tidak dilafalkan, tidak diucapkan, tapi hanya tentang perasaan dan Allah-lah yang Maha Mengetahui.

Kebencian, dendam, iri, dan sifat-sifat semacamnya adalah buah dari pohon “tidak mau memaafkan”-nya kita. Sadarkah, sebenarnya yang masih menggoreskan kesalahan dan dosa adalah kita? Yang dari waktu ke waktu tetap saja marah, tidak mau memaafkan, menggosip, menggunjing atau mencaci orang yang menyakiti kita. Celakanya, entah sadar atau tidak, kita juga mengajak orang-orang terdekat kita untuk ikut membenci dia. Mereka, orang-orang yang dekat dengan kita, orang yang kita sayangi, yang awalnya tidak mengetahui apa-apa tentang masalah kita, menjadi terseret untuk menggunjing, menggosip dan juga mencaci. Dan, terkadang saat mereka mengetahui cerita kehidupan miring dari orang yang telah menyakiti kita, maka mereka akan segera melapor kepada kita, dengan ikhasnya kita lalu menggosip, menggunjing dan mencaci, padahal kita tak tahu cerita sebenarnya seperti apa, hanya dengan berdasar bahwa mereka yang bercerita kepada kita itu adalah orang yang bisa dipercaya, namun belum tentu orang yang bisa dipercaya itu mengetahui keseluruhan cerita sebenarnya.

Maaf, memaafkan adalah sebuah perahu yang akan membawa kita menuju pendewasaan jiwa dan juga pembijakan jiwa. Siapa dari kita yang tidak mau menjadi jiwa-jiwa dewasa dan bijak, jiwa yang menjadi teladan bagi sesama, jiwa yang memberi manfaat kepada sesama. Dan orang yang terbaik adalah yang bermanfaat bagi sesama.

Memaafkan dengan ikhlas adalah suatu keniscayaan untuk kita menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Lagipula, kebencian itu sebenarnya menutupi kebahagiaan yang akan kita dapat, menghalangi rejeki yang akan dilimpahkan kepada kita, dan sangat berpotensi memutuskan tali silaturrahim. Dan dendam sebenarnya adalah duri juga parasit yang terus tumbuh membesar dalam hati, sehingga suatu saat kita baru sadar bahwa dendam telah menggerogoti kebaikan diri kita.

Marilah kita menjadi pribadi yang mudah memaafkan, karena pada dasarnya memaafkan itu sendiri adalah sebuah kebahagiaan. Berilah ruang dan kesempatan pada yang telah menyakiti kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Walaupun pernah menyakiti kita sedemikian rupa, dia juga memiliki hak untuk terus melanjutkan kehidupan, dia memiliki hak untuk terus bermimpi, dia memiliki hak untuk mendapatkan cinta dan kasih, dia memiliki hak untuk mendapatkan maaf. Mulai saat ini lebih baik kita berhenti untuk menggosip, menggunjing dan juga mencaci orang yang telah menyakiti kita, karena hal itu hanya membuat kita semakin sakit hati saja.

Maafkanlah, dan kebahagiaan pasti menjadi milikmu. Percayalah.

NB : “dia” adalah aku, sementara “kita” adalah orang yang aku sakiti, aku hanya berusaha berpikir dan melihat keadaan dari dua sisi.

Another story, about me…

Saat semuanya memulai hidup baru, aku baru saja mencoba menghapus dosa dan kesalahanku. Ketika semuanya mulai merajut mimpi, aku baru saja memulai hidup baru tapi tetap sembari menghapus dosa dan kesalahan yang pernah aku buat.

Karena sebuah kesalahan fatal yang aku buat, aku diminta pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan seseorang. Jauh secara harfiah, maupun jauh secara konotasi. Aku pergi jauh dari tempat dia tinggal dan juga pergi menjauh dari kehidupannya. Tak lagi peduli pada kehidupannya, begitu awalnya, hingga beberapa kejadian yang membuat aku merasa tidak dihargai. Padahal aku pergi jauh tanpa peduli mimpiku akan hancur ataupun kehidupanku harus lebih berantakan.

Sialnya, usahaku ini tak memiliki arti apa-apa dimatanya! Tiba-tiba dia menghubungi aku, entah secara sadar ataupun tidak, masa bodoh buatku, lalu saat aku balas menghubunginya, dia tidak merespon apa-apa, menyebalkan bukan? Tapi, dengan penuh kesadaran bahwa ini memang salahku, jadi aku harus menerima apapun perlakuannya, pahit ataupun manis.. Bukan hanya sekali itu saja ia menghubungiku, namun beberapa kali, sebenarnya aku berasumsi ia tidak sengaja memencet tombol, jempolnya tergelincir atau apapunlah alasannya, yang pasti tidak sengaja, namun feelingku mengatakan ketidak sengajaannya itu tidak wajar, selama ini feelingku memiliki kekuatan yang cukup untuk bisa dipercaya.

Sebelum pergi jauh, sebenarnya aku dan dia sudah bersepakat untuk tidak saling menghubungi, tidak saling mengusik kehidupan satu sama lain. Karena ia bilang, ia sudah punya kehidupan baru. Sayangnya bukan aku satu-satunya orang yang membuat kesalahan dikehidupan ini, ia dengan segera sudah melanggar kesepakatannya sendiri, seperti halnya aku yang telah melanggar janji-janji yang telah lalu.

Awalnya aku kira usahaku untuk menjauh itu memang ada artinya, memiliki dampak dan memberi manfaat, bagi dia utamanya. Apalagi alasanku untuk pergi kalau ternyata hal ini tidak memberi manfaat bagi dia. Sayang seribu sayang, aku masih tidak lepas dari kehidupannya, bukan aku yang berusaha hadir tapi ia yang menghadirkanku. Bisa dibuktikan kok. Hari demi hari, waktu ke waktu ternyata tetap saja penggunjingan, penggosipan dan pencacian diatas namaku yang disamarkan tetap saja terjadi. Menyebalkan bukan? Ketika aku berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, saat aku berusaha menghapus kesalahanku, di tempat lain, usahaku tidak berarti apa-apa, bahkan masih nikmat menjadi bahan gunjingan, seolah-olah menunjukkan bahwa aku adalah pribadi yang sama. Tapi seperti sudah aku bilang aku terima saja perlakuan dia, karena semua ini salahku, dan memang pantas aku mendapatkannya, pantas sebagai hukuman.

Sadar bahwa ketika kita ingin menjadi pribadi yang lebih baik akan segera didatangkan keadaan yang tidak menyenangkan sehingga memaksa kita untuk berusaha lebih keras untuk mencapai tujuan. Saat kita ingin melaju menuju sebuah titik memang tidak serta merta kita diberikan keadaan dan juga teman yang mendukung, lebih banyak kita akan diberi keadaan dan teman yang tidak mendukung. Ini semata-mata untuk menjadikan kualitas kita naik, mandiri, tidak mudah bergantung pada orang lain. Atas dasar hal ini, aku pun kembali menerima keadaan apa adanya, bukankah hidup sudah diatur dan berada pada kuasa Sang Maha Pencipta?

Aku yang menyakiti sebenarnya tersakiti juga atas perbuatanku sendiri, dan aku menyesali semuanya. Mungkin dia tidak percaya, dan beberapa dari kamu yang membaca juga mungkin tidak percaya. Sadarlah, sebenarnya sebagian besar orang yang menyakitimu, dengan sendirinya hatinya akan tersakiti juga oleh tindakannya, bila seperti itu ia pasti akan sungguh menyesal dan ia, juga aku dengan ikhlas mau melakukan banyak hal bahkan yang irasional sekalipun asalkan bisa memperbaiki keadaan, bisa mendapatkan maaf yang ikhlas dan bisa menghapus kesalahan walaupun hanya sedikit. Pada waktu selanjutnya, aku akan tetap berusaha memperbaiki keadaan dan menghapus kesalahan serta mendapatkan maaf walaupun yang dia lihat sepertinya bukan apa-apa dan tidak berarti dimatanya, tapi aku akan tetap melakukan apapun yang sekiranya bisa membuat keadaan menjadi lebih baik. Dan berusaha kembali menorehkan senyuman di wajah indahmu.

Nobody knows who I really am

I never felt this empty before

And if I ever need someone to come along

Who’s gonna comfort me and keep me strong

Sepertinya lirik lagu diatas ada benarnya, karena mengasingkan diri, tak seorangpun mengenali siapa aku sebenarnya yang sekarang. Tak apa, menurutku malah lebih baik seperti ini. Aku mengasingkan diri bukan karena aku mengidap panyakit berbahaya atau aku seorang psikopat, tapi karena aku ingin mengintrospeksi diri, merenungi kehidupan yang telah lalu, dan merencanakan untuk kehidupan yang akan datang. Bila disamakan dengan jaman raja-raja, aku sebenarnya sedang bertapa, namun sayangnya di dekat rumahku tidak ada goa, tapi walaupun ada, aku tidak akan mau bertapa di sana, takut. Lagipula sebenarnya aku takut bila di fase “kepompong”-ku ini aku menyakiti dan kembali menyakiti orang-orang disekitarku untuk kesekian kalinya. Jadi aku memilih menyendiri, kesepian, walaupun sangat hampa. Sungguh!

Sebelum masa “kepompong”-ku, aku merasa usahaku ini tidak dihargai, tak memiliki dampak juga tak memberi manfaat. Oleh karena itu aku memutuskan kembali. Sekarang pikir, buat apa aku harus mengorbankan mimpi-mimpiku hanya untuk hal yang sia-sia. Mimpi itu harus diperjuangkan! Dan saat itu aku rela menjadi seorang pengecut yang tidak mau memperjuangkan mimpinya asal usaha menjauhku ada manfaatnya. Lalu buat apa aku mengorbankan kehidupanku bila nyatanya apa yang aku lakukan bernilai sama bila aku tidak melakukan?!

Aku yang belajar menghargai, ternyata tidak kunjung dihargai. Kesabaran memang tidak memiliki batas, namun aku bukan seorang penyabar, aku punya batas tenaga, aku lelah! Walaupun aku seorang pendosa aku masih memiliki hak untuk dihargai, hak untuk hidup. Tuhan masih memberi aku hidup di hari ini, berarti Dia masih memberi aku kesempatan untuk menghapus kesalahan, untuk menghapus dosa juga untuk memperbaiki keadaan.

Aku lelah, kali ini aku menyerah, aku melangkah kebelakang satu, dua langkah mengambil ancang-ancang yang tepat untuk melompati jurang didepanku. Jika aku teruskan, perantauanku ini takkan berarti apa-apa, aku takkan mendapatkan apa-apa, hidupku akan jauh lebih berantakan. Aku lebih memilih pulang.

Kedewasaan yang entah datang dari mana, mengajarkanku bahwa mimpi itu harus diperjuangkan, dan mimpi adalah tujuan hidup, mimpi yang mensurgakan tentunya, yang memiliki manfaat bagi yang lain. Beberapa kali aku mencoba tidak peduli terhadap penghinaan dan perendahannya kepadaku. Ia tidak terima dengan keputusanku kali ini, apapun alasanku. Itulah yang membuat ia marah membabi buta, alasanku yang tak pernah ia mau tahu seharusnya mampu sedikit meredam emosinya. Kemungkinan besar ia hanya GeeR, merasa aku ingin mendekatinya lagi ataupun sekedar mengusik hidupnya, tapi sumpah demi mimpi, perjalananku selama merantau tidak pernah mengajarkan hal itu. Mungkin bila ia sedikit mau melapangkan dada, dan sedikit mau mengerti serta menerima alasanku, ia tak perlu marah-marah tak jelas dan mengeluh dari seseorang ke orang yang lainnya, ia juga tak perlu mengumbar marahnya di jejaring sosial yang membuat banyak pihak panik, lalu aku jadi sasaran pencacian, menyebalkan bukan? Kesalahanku itu dimasa lalu tapi seakan-akan setiap hari masih melakukan salah yang sama. Seperti tak mengerti tentang hari esok adalah hari yang baru dan berbeda dari hari kemarin. Sungguh menyebalkan, walaupun disini aku antagonisnya, tapi tetap saja seharusnya berpikir jauh lebih jernih. Katanya dia cerdas? Katanya dia dewasa? Katanya dia hebat? Katanya dia beriman kuat? Allah memberi aku kesempatan ini, seharusnya ia yakin ini kehendak Allah. Dia sering bilang Allah lebih tahu dari hambaNya, jadi tolong jangan sok tahu dan sok menghakimi.

Bukan aku membencinya, bukan juga aku marah lalu mendendam. Aku hanya ingin mempertegas alasan keberadaanku di sini, kenapa aku lebih memilih menggunakan almamater ini. Aku hanya ingin menghargai diriku sendiri. Walaupun pada kenyataannya pilihanku ini semakin mendekatkanku kepadanya namun sungguh aku akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak mendekati kehidupannya. Pada dasarnya hal ini untuk menghapus kesalahanku dan dosaku dimasa lalu serta rasa bersalahku karena tidak memaksimalkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk hal yang positif.

Suatu saat nanti, dalam suatu kesempatan yang kita sama-sama tak tahu kapan datangnya, aku akan menunjukkan bahwa aku masih bisa bermanfaat, masih bisa memberi arti bagi kehidupan orang lain, suatu saat aku juga akan menunjukkan bahwa aku memang layak untu ada disini, aku layak, karena suatu hari nanti aku yakin aku sanggup meletakkan kehormatan almamater baruku diatas almamater-almamater yang lain, membawa sang garuda terbang gagah diantara geliat mata yang memandang, ya, terlihat berlebihan, irasional, tapi begitulah mimpi kebanyakan mahasiswa baru, iya kan?. Aku akan terus bermimpi karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpiku.

Kata seorang ustadz, dalam islam, sesama muslim adalah saudara. Saling marah-marahan, membenci, mendendam lalu bermusuhan merupakan faktor pemutusan tali persaudaraan. Dan pasti Nabi tidak senang dengan hal tersebut. Silaturahim menjadi penjaga tali persaudaraan. Dan sungguh tali persaudaraan dapat membawa kita kepada kebahagiaan abadi, surga. Mengembalikan tali persaudaraan yang sempat merenggang juga menjadi keinginanku di masa depan.

Aku hanya ingin hidup tanpa dihantui rasa bersalah dan dosa disetiap malam. Sungguh akupun juga merasakan sakit, dan sungguh aku menyesal. Aku minta maaf sedalam-dalamnya, dan semoga pintu maaf kamu bukakan.

1 komentar:

Nhovii Sii Vhidaa mengatakan...

bener banget mas...
kenapa yyah kog bisa gtooo?

Posting Komentar

prev next