Sabtu, 06 November 2010

pindah dan jatuh cinta dengan kesehatan

Apakah aku salah karena tidak merasakan kebahgaiaan yang sama yang dirasakan orang tuaku? Apakah aku puas atas kesuksesanku menyenangkan orang lain? Apakah aku puas dengan hanya membuat beberapa sahabatku bangga aku bisa diterima perguruan tinggi?

Aku bertanya seperti itu saat diterima di IPB dan UNAIR, pertanyaan yang aku awalnya tidak mau tahu jawabannya dan selalu aku tutupi dengan perasaanku yang memang bangga bisa mengalahkan peserta tes lainnya yang pasti persiapannya juga matang. Pertanyaan itupun semakin tertutup dengan rasa sesalku pada masa lalu.

Pertanyaan itu semakin terkubur dan tak terusik lagi saat aku berada di Bogor, saat ospek berjalan. Petuah dari senior hingga Rektor menjadi sebuah penyemangat dan pembuka jalan pikirku yang baru. Membuat aku yakin akan meraih banyak hal disini. Perasaan bangga selalu aku sampaikan kepada saudara hingga teman jauh. Tapi rasa bangga itu ada tanggal kadaluwarsanya, yaitu saat hari raya Idul Adha tiba. Sebuah perjalanan pulang yang dramatis dan penuh dengan pelajaran emosi dan kehidupan. Pertemuan dengan teman-teman SMA membuka kembali pertanyaan-pertanyaan yang selama ini aku letakkan entah dimana.

Benarkah aku bahagia disana? Benarkah perjalanan panjangku nanti dimulai disana? Apakah aku yakin dengan kehidupanku disana? Perasaan gelisah dan ragu-ragu selalu datang di setiap sepiku. Aku memilih untuk menyendiri dan menutup diri, bukan unttuk menutup diri dari teman-teman yang lain, tapi untuk memikirkan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Sebuah jawaban yang juga merupakan pertanyaan melintas didalam benakku, Apakah selama ini aku bahagia dengan pengkhianatanku pada diriku sendiri? Tidak!

Aku mulai menemukan jawabannya, tetapi jawaban itu masih semu, tidak ada bukti kuat untuk membenarkan jawaban itu. Akhirnya perjalanan pulang akhir tahun menjadi sebuah penunjuk nyata kebenaran dari jawabanku itu. Perjalanan itu juga menambahkan, bahwa selama ini aku ternyata juga mengkhianati mimpi dan cita-citaku.

Perjalanan hidupku yang singkat di Bogor membuat jalan pikirku terbuka lebar, mau menerima semuanya, mau memikirkan banyak hal, dan mau untuk mewujudkan mimpi. Hal ini membuatku punya beberapa pilihan seperti dalam buku “Titik Ba” yang ditulis oleh Ahmad Thoha Faz, dia bilang bahwa “kita tidak dapat mengubah siapapun kecuali diri kita, maka kesadaran tanpa batas hanya berlaku pada pengendalian “kesadaran kita” orang yang tahu diri secara aktif menanggapi dunia. Sebaliknya orang yang tidak tahu diri berharap dunia menanggapi dirinya. Bagi yang tahu diri selalu terdapat pilihan yang layak pada setiap masalah:

1. Mengubah apa yang bisa diubah

2. Menerima apa yang tidak bisa diubah

3. Memindahkan diri dari hal-hal yang tidak dapat kita terima.

Aku sadar tidak bisa melakukan yang pertama karena aku tidak memiliki tenaga saat ini. Beberapa waktu aku mencoba dan memang menerima kehidupan baruku. Tapi, lama-lama aku sadar bukan disini seharusnya aku berlari, dan untuk kali ini, aku jelas-jelas mengatakan tidak untuk pilihan kedua. Jadi aku memilih yang ketiga.

Dan liburan semester akhirnya membulatkan jawabanku, untuk bertekad mengejar mimpi. Tapi setelah itu banyak kegelisahan-kegelisahan dan pertanyaan yang bersangkutan dengan tekadku itu. Begitu juga dengan masalah-masalah dalam keluarga yang semakin hari rasanya semakin keruh. Setelah aku tanya jawab dengan Allah, akhirnya aku diberi pertimbangan-pertimbangan yang menguntungkan aku dan orang tuaku. Tapi tidak bagi persahabatanku. Sebuah keputusan untuk mengakhiri perjalanan disini disatu sisi melegakan tapi disisi lain menjadi sebuah kesedihan mendalam.

Beberapa bulan yang lalu, memang benar saya ingin hidup disini, jauh dari orang tua untuk benar-benar mandiri. Mulai dari hal sepele, mencuci, mengatur kamar, hingga memanage uang pegeluaran. Tapi kondisi sekarang dengan beberapa bulan yang lalu sungguh jauh berbeda. Hidupku mulai nyaman dan damai tanpa ada permasalahan dengan orang lain, mungkin beberapa kali masih ada tapi hanya masalah kecil yang mungkin juga disebabkan adanya perbedaan budaya. Tanpa adanya permasalahan dalam kehidupanku, sepertinya sudah diatur oleh Sang Maha Kreatif. Waktu yang luang begitu banyak, selain belajar dan bermain, tentunya banyak bermainnya, aku bisa bebas bersosialisasi kapanpun, dimanapun, dan dengan siapapun aku mau. Waktuku yang banyak luangnya itu, membuat aku memiliki pola pikir paru, jauh berbeda dengan beberapa waktu lalu. Aku mulai memikirkan ini itu, baik itu masalahku, masalah temanku, orangtuaku, ataupun masalah orang lain yang sama sekali tidak aku kenal.

Rasa terima kasih yang begitu besar jelas aku tujukan kepada Saha Maha Penyayang, rasa terima kasih juga aku berikan kepada IPB dan juga semua teman-teman yang menemani, memberi warna, dan mengajarkan hal-hal baru dalam perjalananku selama ini. Mereka tidak hanya menemani, tapi juga memberikan pelajaran kehidupan yang tidak mungkin aku temukan di tempat lain. Dan kalian jugalah yang membantuku dalam proses pendewasaan diri juga membantuku dalam membuat sebuah life plan, yang dulunya aku hanya seorang pengkhayal sekarang naik tingkat menjadi pemimpi, semoga nanti naik tingkat lagi jadi pencipta…amiin, semua rencana itu milik Allah, dan Dia-lah yang akan menentukan akhirnya.

Begitulah proses kreatif Allah, yang selalu menempatkan kita di tempat yang mulia, tetapi sering kita tidak memperhatikannya. Dan begitu juga proses Allah memberi hadiah kepada kita, Dia selalu memberi bungkus yang kotor, rusak, aneh, dan sulit untuk dibuka. Semua itu agar kita tak lelah untuk membersihkan diri, dekat dengannya, dan agar kita tak lelah menengadahkan tangan kepada-Nya. Allah itu Maha Romantis dan juga Maha Kreatif. Terima kasih atas sekolah kehidupan-Mu.

*sedikit mengutip dari blognya ka’ adenita, penulis yang mampu memberiku motivasi tanpa pernah bertemu dengannya. Thanks ka’ adenita.

0 komentar:

Posting Komentar

prev next