Sabtu, 06 November 2010

bogor dan suatu kesalahan besar

Maaf, nulisnya pas malam insomnia menyerang, jadi banyak kalimat yang mungkin aneh atau sulit dimengerti.

-kalau mau bilang aku geje, gila, pengecut, pecundang, panjahat, brengsek, psikopat, temannya iblis, atau apapun, tak apa, kalau memang kenyataannya seperti itu, berarti aku lama tidak bercermin-

Lama sudah ku mencari apa yang hendak kulakukan.

Segala titik ku jelajahi, tiada satupun ku mengerti.

Tersesatkah aku di samudera hidup.

Kata-kata yang ku baca, terkadang tak mudah ku cerna.

Bunga-bunga dan rerumputan, bilakah kau tau jawabnya.

Inikah jalanku? Inikah takdirku?

Biarkan ku mengikuti suara dalam hati,

Yang selalu membunyikan cinta.

Ku percaya dan kuyakini murninya nurani.

Menjadi penunjuk jalanku, lentera jiwaku.

-nugie: lentera jiwa-

Seperti di catatanku sebelumnya. Dulu aku adalah seorang yang pernah hidup di dunia hitam, tempat para setan tinggal. Entah sekarang bagaimana, banyak yang masih tidak percaya dengan keadaanku yang sekarang. Untuk meyakinkan orang yang menilaiku ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Kalimat demi kalimat tetap saja memiliki arti yang sama. Aku penipu. Tulisan demi tulisan tetap saja memiliki arti sama. Aku pendusta. Perbuatan demi perbuatan tetap saja memiliki arti sama. Aku pendosa. Di mata mereka, aku rendah. Aku menerima, tapi aku juga menolak, sebagian hati berkata memang itu adanya, sebagian hati berkata itu tidak sepenuhnya benar.

Emas yang salah taruh akan dikira kuningan. Selama ini aku salah memposisikan diri ternyata, mereka merendahkan karena aku juga merendahkan diri sendiri. Mereka memuji karena sebelumnya aku telah mendahului untuk memuji diri sendiri. Dalam pandanganku, penilaian orang lain tercermin dari bagaimana aku menilai diriku sendiri, bagaimana aku menghargai diri sendiri. Dalam sudut lain, orang juga menilai dari apa yang sudah kulakukan, tetapi aku menghargai diri sendiri dari apa yang bisa dan akan kulakukan. Mungkin itu sebabnya, karena apa yang telah aku lakukan adalah dusta, apa yang telah aku lakukan adalah dosa, mudah bagi siapapun untuk menarik kesimpulan bahwa aku pendosa, bahkan bagi yang tidak mengenal diriku sekalipun. Kesimpulan didasarkan fakta, memang begitu faktanya diriku, berarti aku yang terlalu sok naïf. Aku terima.

Waktu berlalu begitu cepatnya, suara-suara merendahkan, suara-suara yang terus membahas kesalahanku, suara-suara menghina, ternyata tak segera berlalu seperti sang waktu, walaupun permintaan maaf dan ucapan memaafkan sudah sering terdengar oleh telinga dunia. Bahkan mengasingkan diri di kota hujan tidak memiliki arti apapun, setidaknya aku ingin dilupakan. Sejak saat itu aku menderita pesimistisme dalam menatap dan menjalani kehidupan. Kehidupanku di masa lalu mengisyaratkan aku sudah tidak lagi memiliki tempat untuk mencapai cita-cita. Lebih-lebih saat itu aku belum memiliki cita-cita, melupakan cita-cita tepatnya. Dunia ini seakan tidak lagi ramah, walaupun senyuman aku umbar kesana kemari. Pesimitismeku semakin parah, kronis, mungkin jika saat itu ada yang melihatku lebih dalam dia akan segera menghubungi rumah sakit jiwa, karena saat itu memang jiwaku benar-benar sakit. Sakit bukan karena dilukai tapi karena melukai. Karena telah berbuat kesalahan, aku merasa pantas untuk mendapatkan hukuman, apapun itu, aku terima. Bahkan terkadang aku menghukum diriku sendiri, mengurung diri, atau melewati hari-hari dengan hanya bermimpi. Semua itu karena aku takut, takut hari-hariku kembali melukai orang-orang di sekitarku. Lama sudah aku tak memiliki semangat positif, yang ada malah aku menyemangati diriku untuk menghukum diriku, mengikuti alur yang mengalir tanpa sekalipun berani menatap masa depan.

IPB, asrama C2, lorong satu, kamar 119, kelas B15. Adalah tempat semangatku kembali menyala, bukan aku yang menyalakannya, tapi mereka yang menghuni tempat itulah, dengan sejuta kasih sayang, ikhlas kembali membuat aku berani menolak perendahan yang diberikan kepadaku. Mereka mengobati penyakit jiwaku yang bahkan aku sendiri pesimis bisa sembuh. Mereka membuatku berbalik 180 derajat, aku sekarang terserang penyakit optimisme tingkat awal. Tapi, aku masih belum berani menyatakannya, belum berani secara lugas.

Suatu malam, dibulan Desember, malam-malam aku berjalan menyusuri lorong. Berjalan dari satu kamar ke kamar lain, membaca profil yang ditempel di pintu. Nama, alamat, jurusan, cita-cita. Aku sudah mengenal mereka semua, aku sudah hafal di luar kepala darimana asal sahabat-sahabatku ini. Bodohnya, aku baru sadar, dunia ini terlalu sempit bagi mereka yang pesimis, dan dunia pada kenyataannya adalah luas. Kubaca sebuah kata bertuliskan cita-cita, bermacam-macam cita-cita, setiap anak memiliki cita-cita mulia masing-masing, membuatku merinding, ingin menghajikan orang tua, jadi MENHUT, pegawai Bank Indonesia, Dokter, dan bermacam-macam cita-cita suci lainnya. Aku kembali ke pintu kamar nomer 119, aku baca cita-citaku sendiri, ingin jadi orang sukses? Cita-cita macam apa ini! Cita-cita yang akan dikatakan jutaan anak kecil ketika gurunya menanyakan perihal cita-cita kepadanya, cita-cita yang akan dikatakan jutaan manusia yang tidak memiliki rencana kehidupan secara konkrit, cita-cita yang hanya seperti sekedar angan-angan, cita-cita yang tidak detail! Sukses macam apa yang aku inginkan, kaya? Jadi Profesor? Punya anak banyak? Sukses seperti apa?

Malam itu terasa begitu hening, sangat hening, aku berpikir dalam hening. Masih diijinkan-kah untukku merangkai mimpi? Masih dijinkan-kah aku untuk mennggapai cita-cita? Masih diijinkan-kah aku untuk mendapatkan derajat yang lebih tinggi? Masih bolehkah aku menolak perendahan terhadap diriku? Sebuah jawaban meledak dalam hening, MASIH! Lalu, ia berkata, tidakkah kau ingat Allah Maha Pengampun, Maha Penerima Taubat, Maha Pengasih, Maha Penyayang? Dan Allah itu Maha Luas, Maha Besar, hal seperti yang kau tanyakan adalah mudah bagiNya. Tenangnya hatiku mendengar kata-kata itu. Mataku terpaku pada langit-langit kamar, langit seolah-olah bisa aku lihat dengan jelas, kali ini langit malam begitu terang. Aku lupa, kapan terakhir kali aku melihat langit seterang ini. Tenangnya hatiku mendengar kata-kata itu.

Hari demi hari, penyakit optimisme ini bukan berkurang tapi malah terus bertambah, setiap sahabat menjadi bahan bakar utama yang terus memompa semangatku. Cerita demi cerita yang aku tumpahkan kepada telinga-telinga yang setia mendengarkan, adalah proses awalku untuk meringankan beban, untuk belajar memaafkan diri sendiri. Hidup lebih berwarna, dunia seakan selalu bernyanyi lagu ceria, dan malam tidak lagi menjadi hal yang menakutkan.

Mario teguh bilang, “Dulu, kita memiliki cita-cita yang tinggi, namun karena kesalahan dalam perjalanan yang kita lakukan, dan perendahan orang lain, membuat kita merendahkan pula cita-cita kita, dan meragukan kemampuan kita untuk mendapatkannya. Seharusnya, biarkan cita-cita tetap tinggi, tapi kita harus menolak perendahan itu dengan cara membuat pribadi ini lebih baik dan lebih pantas untuk mendapatkan cita-cita tersebut.”

Super sekali pak Mario! Kalimat itu menyihir setiap syaraf ditubuhku. Membuatku berfikir lebih cerah. Allah itu Maha Pengampun, dan masih ada harapan untuk menggapai cita-cita, asalkan mau bekerja keras, utamanya adalah bekerja keras dalam menjadikan pribadi ini lebih baik.

Kuteruskan perjalanan yang begitu melelahkan.

Dan ku yakin kau tak ingin aku berhenti.

-letto : lubang dalam hati-

Entah bagaimana ceritanya lagu Letto, lubang dalam hati, melengkapi motivasi-motivasi yang lebih dulu diberikan lingkungan sekitar. Aku bersemangat, tiba-tiba aku merasa sangat kuat, sangat kuat untuk menopang penyesalan ini. Cita-cita, mulai berani aku susun kembali, dan mulai aku ceritakan kepada dunia apa yang aku cita-citakan. Aku tak bisa berhenti menceritakannya kepada dunia. Setiap hari rasio peluang untuk mewujudkan cita-cita itu selalu saja meningkat. Selalu ada hal-hal baru yang menyertai perencanaan cita-citaku. Aku ingin terus berlari, terus, ingin mengadu kecepatan dengan sang angin, ingin mengadu keteguhan dengan sang ombak. Aku ingin terbang! Gelapnya hati mulai sirna perlahan-lahan, sirna karena cahaya yang sealalu dipancarkan oleh sahabat-sahabat. Aku bahkan seperti diingatkan oleh kalimat dalam puisiku sendiri: mimpi, aku akan terus mengejarmu, apapun akan aku hadapi, walau mati adalah kesepakatan terakhir untuk memeluk mimpi. Dan aku ingin konsisten dengan kata-kata dipuisiku kali ini.

Akhirnya, keputusanku adalah pulang, meninggalkan IPB, kawah candradimuka yang walaupun sebentar namun sangat berarti dalam perjalananku, sangat efisien dalam mendidikku, mendidik tentang kehidupan. Semua hal yang ada di sana, mengajarkan tentang bangkit dari keterpurukan, mengajarkan tentang luasnya kuasa Tuhan dan pesimis adalah dosa, mengajarkan tentang persahabatan adalah tempat pulang dan juga tempat untuk berbagi, berbagi suka ataupun duka, berbagi segalanya, tanpa ucapan janji, namun terpatri dihati, sebuah janji tak terucap. Segala hal yang ada di sana adalah bagian hidupku. Dengan segala kekurangannya, Bogor adalah batu loncatan yang paling menentukan bagiku. Saat pulang, entah darimana suara itu datangnya, tapi seperti ada yang berbicara kepadaku, bahwa telah disiapkan untukku sesuatu hal yang besar, berhubungan dengan tanggung jawab dan kepribadian. Sampai sekarang aku masih belum mengerti apa itu.

Hampir 5 bulan aku lewati dengan kesendirian, kesepian, dan kehampaan. Aku seperti seekor ulat yang sdang mengalami fase kepompong. Berkali-kali semangatku jatuh, berkali-kali juga kata-kata dan canda sahabat membantu menguatkanku lagi. Aku berterima kasih dengan kesendirian, kesepian, dan kehampaan ini, membuatku banyak melamun, membuatku banyak berpikir, dan membuatku seperti kepompong. Tak heran bila insomnia adalah satu-satunya yang setia menemani bila malam tiba.

Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba perasaan takut menyelimuti hati. Takut kalau aku menjadi pecandu kesepian ini, aku terlalu menikmati kehampaan ini, seingga aku tidak mau keluar dari keadaan ini. Ketakutanku berlebihan, menjadi konflik batin. Aku seperti dalang, berdialog dengan berbagai peran, berdialog untuk diriku sendiri, berdiskusi dengan diriku sendiri mana yang lebih baik untukku. Istikhoroh, ikhtiar yang satu ini juga telah aku lakukan untuk menentukan berbagai pilihan dalam perencanaan kehidupanku. Aku takut gagal kali ini, karena aku sendirian menyiapkan segalanya kali ini, persiapanku tentu tidak sematang tahun lalu. Tapi entahlah, bukankah terkadang hidup memang layaknya perjudian.

Allah Maha Mengetahui, Dia tahu mana yang terbaik untukku dan mana yang tidak. Tapi, aku tidak setuju bila ada yang berkata bahwa Allah selalu memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Allah itu selalu memberi apapun yang kita minta, itu janjiNya, apa ada yang meragukan kuasaNya? Tapi terkadang Allah mendahulukan apa yang kita butuhkan, dan apa yang kita minta biasanya diberikan saat kita hampir tidak menginginkannya lagi, saat kita hampir melupakan permintaan kita atau dalam bentuk dan waktu yang lain.

Allah telah menetapkan sebuah keputusan untukku, semoga ini yang terbaik. Aku memang tidak pintar, namun pilihan ini sudah aku rencanakan dengan matang, bukan sekedar memilih karena ego yang sedang bersemangat, aku mempertimbangkannya juga bersama beberapa sahabat. Jujur, motivasiku memilih jurusan ini karena aku menuruti suara hati, bila ingin tahu apa suara hatiku bisa ditanyakan langsung ke seorang sahabat, Siti Nur Fauziah, dan bila aku boleh memilih maka pilihan pertamalah yang aku inginkan. Pilihan ini pun tak apa, aku sangat bersyukur, sangat. Terserahlah, siapapun yang tidak setuju dengan apa yang aku pilih dengan pemikirannya masing-masing, aku yakinkan bahwa perjalananku kali ini murni menuntut ilmu, murni memenuhi panggilan suara hati, tanpa motivasi terselubung. Mungkin saja memang jalannya harus sama dengan jalan seseorang, tapi sungguh aku tidak memiliki niat macam-macam. Hanya orang bodoh yang akan mempertaruhkan harapan orangtuanya untuk kedua kalinya, tentu aku tak mau jadi seperti itu, karena itu akan semakin menebalkan titelku yang pendosa itu. Aku hanya ingin menikmati euforia civitas academica seperti kalian, mengejar mimpi dengan tangis dan tawa seperti yang kalian lakukan, meneguk ilmu sebanyak-banyaknya yang siapapun berhak untuk meminumnya, karena aku sudah sangat haus, karena aku ingin berkata pada dunia, “Hei dunia, AKU ADA”, dan aku ingin mendapatkan pengakuan tentang keberadaanku oleh dunia, hal ini akan kudapatkan bila hidupku bermanfaat bagi sesamanya. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama. Sudahlah, tentu kata-kata ini bagi sebagian orang memang tidak meyakinkan, dilihat saja apa yang akan aku lakukan nanti.

Dan tolong di baca kata-kata ini dengan baik : “Saat anda menghalangi seseorang untuk meraih mimpinya, anda sedang menghalangi jutaan kebahagiaan yang ingin dipersembahkannya untuk orang lain, bahkan mungkin salah satunya adalah kebahagiaan anda, dan saat anda mengatakan anda memaafkan namun masih merendahkan orang yang anda maafkan, saat itu anda sedang belajar menanam kebencian, saat itu anda sedang merendahkan diri sendiri.”

Bahagia karena orang lain bahagia, membuat anda terlihat kaya dan begitu tinggi derajatnya. Tapi tidak bahagia, atau bahkan mencaci kebahagiaan orang lain, menjadikan anda orang kerdil miskin yang sedang menilai hidup seseorang dari tempat yang rendah.

Sahabat, pernahkah berpikir bahwa orang yang menyakiti kita mungkin juga tersakiti oleh tindakannya sendiri, bahkan sakitnya mungkin melebihi sakit yang kita tanggung. Pernahkah berpikir, mungkin penyesalan orang yang telah menyakiti kita selalu menghantui hari-harinya sehingga kehidupannya menjadi suram. Pernahkah berpikir, mungkin hukuman yang kita berikan sudah cukup dan tidak perlu dilanjutkan lagi, karena tanpa sepengetahuan kita dia menghukum dirinya sendiri dan setiap hari selalu belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik, bahkan usaha belajarnya melebihi kita yang disakiti. Pernahkah berpikir, dalam kebencian dan pengucilan yang kita berikan kepada yang menyakiti kita, dia mendoakan dengan tulus untuk kebahagiaan kita. Pernahkah berpikir, sakit dan luka yang kita berikan dulu telah ia maafkan, telah ia lupakan, walaupun itu berat dan menyakitkan, karena seperti memberi namun tidak diterima. Pernahkah berpikir, mungkin saat kita terus merendahkan yang menyakiti kita, tanpa kita mau tahu bagaimana pribadinya sekarang, masih sama atau tidak dia, saat itu sebenarnya kita sedang merendahkan logika manusia, mungkin seperti seorang munafik, hati dan bibir tidak sesuai. Pernahkah berpikir, mungkin saat itu, saat menyakiti kita, ia sedang tersesat, tak ada seorangpun yang memberitahunya jalan untuk pulang, sehingga dalam kelamnya ia marah, dan setan keluar sebagai teman penunjuk jalan. Pernahkah berpikir untuk memaafkannya secara tulus, tanpa merendahkannya lagi, tanpa menggunjingnya lagi, tanpa mencacinya lagi, atau bahkan bila sanggup mendoakan kedamaian jiwa untuknya sehingga menjadi pribadi yang lebih baik. Setiap manusia memiliki sisi hitam dan putih, tergantung kepada diri sendiri mau memilih sisi yang mana. Apakah kita tahu sisi mana yang dipilih orang yang telah menyakiti kita saat ini? Mungkin saja dia saat ini lebih baik dari kita yang tersakiti, mungkin saja saat ini dia jauh lebih dekat kepada Tuhan daripada kita yang disakiti. Tentu berat untuk melakukan itu semua, bahkan hanya sekedar membayangkannya pun mungkin sudah terlalu enggan, aku yang menulis pun merasakannya.

Setelah sharing bersama seorang sahabat, aku disadarkan, bahwa aku tidak hidup di masa lalu, aku hidup untuk masa depan, perendahan diri orang lain terhadap diriku adalah penilaian mereka terhadap masa lalu. Katak yang terkurung dalam tempurung kura-kura bukanlah diriku, aku ingin lebih luas dalam melihat dunia, lebih dewasa dalam berkata, dan lebih bijak dalam bertindak dan memilih. Jalan terbaik ini sudah diberikan padaku, terserah diriku mau menjalaninya walaupun dari awalnya saja sudah terasa berat, ataukah berpaling dan menolak pemberian Tuhan? Menurut pandanganku, beberapa pemberian Tuhan itu tidak pernah menjadi yang terbaik bagiku bila aku hanya melihat pemberianNya dari satu sudut pandang saja. Siapa yang akan tahu dulu aku masuk IPB lalu akan mendapatkan jutaan motivasi, siapa yang sangka kekalahan Spanyol dipertandingan pertama malah membuat Spanyol juara piala dunia? Tentu tak akan pernah mengerti mana yang terbaik atau bukan, karena perjalanan baru dimulai, dan yang terbaik itu akan hadir saat dalam proses terkadang bukan hasil. Dan aku adalah orang yang merendahkan diri sendiri bila menolak pemberian Tuhan kali ini, setelah peluh dan air mata terus mengalir, pengorbanan yang banyak makan hati, aku tidak mau melewatkan kesempatan ini, aku ingin menghargai diriku. Bukankah di awal aku berkata bahwa penilaian orang lain tercermin dari bagaimana aku menilai diriku sendiri, bagaimana aku menghargai diri sendiri. Dan nanti, seperti kata mbak Junia, setiap tetes air mata dan peluh yang aku teteskan di masa lalu seharusnya menguatkanku untuk menjalani hari ini dan merencanakan sesuatu untuk hari esok. Hidup adalah misteri, dan Tuhan itu sangat romantis, apa yang Dia berikan tentu berdasarkan kasih sayangNya yang tiada tara.

Sahabat, jutaan ucapan terimakasih aku ucapkan untukmu semua, untuk kesetiaan mendampingi perjalananku, untuk kata-kata yang selalu memunculkan hal baru, untuk kata-kata yang selalu memotivasi, untuk petuah-petuah yang mendewasakan, untuk cerita dan canda yang selalu dibagi, untuk perjuangan yang dilakukan bersama, untuk doa yang selalu terucap, untuk jutaan cinta dan kasih sayang yang selalu ada, dan untuk ruang yang selalu terbuka untukku. Tanpa kalian sahabat, aku bukanlah siapa-siapa, perjuanganku bukanlah apa-apa, kebahagiaanku hanyalah omong kosong, mimpiku takkan pernah berartti. Terimakasih…

Terimakasih Tuhan atas cerita ini…

0 komentar:

Posting Komentar

prev next